JAKARTA — Uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 kembali memasuki babak penting. Para musisi yang menggugat aturan tersebut kembali hadir di Mahkamah Konstitusi, Selasa (22/07/2025), dalam sidang kelima perkara nomor 28/PUU-XXIII/2025. Kali ini, agenda sidang berfokus pada penyampaian keterangan dari para saksi dan ahli yang diajukan oleh pihak pemohon.
Nazril Irham atau Ariel (vokalis grup musik Noah) hadir bersama 28 musisi lainnya sebagai bagian dari inisiatif kolektif menuntut kepastian hukum terhadap pelindungan karya musik di Indonesia. Mereka menilai sejumlah ketentuan dalam UU Hak Cipta tidak memberikan jaminan perlindungan yang tegas bagi pencipta lagu dan musisi sebagai pemilik hak moral dan ekonomi atas karya mereka.
Panji Prasetyo, kuasa hukum Ariel dan kawan-kawan, menyatakan pihaknya akan menghadirkan empat orang untuk didengar keterangannya oleh hakim konstitusi.
“Ada dua penyanyi sebagai saksi, dan dua akademisi sebagai ahli. Nama-namanya besok saja ya di sidang, saya enggak mau mendahului majelis hakim,” kata Panji saat dihubungi, Senin (21/07/2025).
Sidang kali ini menjadi titik krusial dalam proses judicial review tersebut, sebab kehadiran saksi dan ahli diharapkan dapat menguatkan argumen tentang lemahnya implementasi perlindungan hak cipta di lapangan, yang berdampak pada keresahan musisi untuk tampil atau mempublikasikan karyanya.
Dalam sidang sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mendengarkan keterangan dari pihak-pihak yang memiliki posisi berseberangan. Marcell Siahaan hadir mewakili Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (Pappri), menyuarakan posisi yang mendukung keberadaan regulasi saat ini. Di sisi lain, musisi Yudi Wahono alias Piyu dari grup band Padi mewakili narasi kontra terhadap UU tersebut.
Kedua tokoh ini menyampaikan sudut pandang yang berlawanan. Marcell menekankan pentingnya menjaga keberlanjutan sistem kolektif dalam distribusi royalti, sedangkan Piyu menyoroti kerancuan pelaksanaan di lapangan, yang menurutnya kerap merugikan musisi.
Perdebatan di ruang sidang pun memunculkan kebingungan di kalangan hakim konstitusi, karena kedua pihak sama-sama musisi namun memiliki sudut pandang yang berbeda terkait perlindungan dan distribusi hak atas karya mereka.
Salah satu isu utama dalam gugatan ini adalah perihal kewajiban pembayaran royalti. Kalangan musisi pemohon menganggap sistem yang berjalan belum transparan dan menempatkan pencipta lagu dalam posisi lemah. Di sisi lain, pemerintah dan DPR menegaskan bahwa penyelenggara acara publik telah diwajibkan membayar royalti melalui mekanisme resmi.
Meski perbedaan pandangan mencuat, sidang ini memperlihatkan urgensi reformulasi hukum hak cipta yang benar-benar berpihak kepada para kreator. Sebab di tengah pesatnya industri digital, kepastian hukum atas karya intelektual menjadi harga mati. []
Diyan Febriana Citra.