JAKARTA – Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) semakin cepat dan kompleks, memunculkan tantangan baru bagi dunia pendidikan dan tenaga kerja global. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, menegaskan bahwa kunci utama menghadapi era disrupsi ini bukan terletak pada teknologi, melainkan pada kualitas manusia yang mengelolanya.
“Kuncinya bukan pada teknologinya, tetapi pada manusianya. SDM yang memiliki empati, kreativitas, dan kemampuan berpikir analitis tidak akan tergantikan oleh AI,” ujar Stella dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Stella menyoroti sejumlah fenomena global yang memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh AI terhadap dunia kerja dan kehidupan sosial. Ia mencontohkan hasil sebuah studi internasional yang menunjukkan bahwa jawaban berbasis AI, seperti ChatGPT, dinilai lebih empati dan akurat dibandingkan dokter manusia dalam beberapa situasi medis.
Menurutnya, temuan tersebut harus menjadi refleksi penting bahwa manusia perlu terus mengembangkan kapasitas berpikir kritis dan nilai-nilai kemanusiaan agar tidak kalah oleh teknologi.
“Kalau kita berhenti mengasah empati dan kemampuan analitis, maka AI justru akan melampaui kita,” ujarnya menekankan.
Berdasarkan data World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2025 AI diprediksi menciptakan 97 juta pekerjaan baru di berbagai sektor, namun pada saat yang sama akan menghilangkan sekitar 92 juta pekerjaan lama akibat otomatisasi. Kondisi tersebut menggambarkan dinamika besar di dunia kerja yang membutuhkan kesiapan SDM untuk beradaptasi dengan cepat.
Stella menilai, peningkatan kompetensi melalui upskilling dan reskilling menjadi langkah penting untuk menghadapi gelombang perubahan tersebut.
“Kalau kita tidak beradaptasi, AI akan menjadi disruptor. Tapi kalau kita bijak mengelolanya, AI akan menjadi enabler,” tegasnya.
Ia menjelaskan, tantangan utama dari perkembangan AI meliputi empat aspek besar: ancaman terhadap lapangan kerja dan kesenjangan ekonomi, risiko keamanan siber, penurunan keandalan informasi karena hoaks dan disinformasi, serta meningkatnya kesenjangan digital antarnegara dan antarkelompok sosial.
Meski demikian, Stella optimistis bahwa tantangan itu dapat diubah menjadi peluang. Menurutnya, AI justru bisa menjadi sarana memperluas akses pendidikan, meningkatkan keamanan siber, memperkuat mekanisme pemeriksaan fakta, dan mempercepat pemerataan ekonomi.
“AI bukan musuh manusia. AI adalah alat. Jika kita mampu mengarahkan, mengatur, dan mengawasinya, maka AI akan memperkuat bangsa, bukan melemahkannya,” tutur Stella Christie. []
Diyan Febriana Citra.