JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final atas transaksi aset kripto, mulai Jumat (01/08/2025). Kenaikan tarif ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 dan menjadi bagian dari penyesuaian fiskal terhadap perkembangan sektor keuangan digital di Indonesia.
Salah satu poin penting dalam regulasi terbaru ini adalah peningkatan tarif PPh final dari sebelumnya 0,1–0,2% menjadi 0,21% untuk transaksi kripto di dalam negeri. Sementara untuk transaksi yang dilakukan melalui platform luar negeri, tarif pajak yang dikenakan mencapai 1%.
“Masa berlaku aturan ini, efektif berlaku mulai 1 Agustus 2025,” kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (31/07/2025).
Selain menaikkan PPh, aturan baru ini juga membawa perubahan penting lain: penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas aset kripto. Perubahan ini merupakan konsekuensi dari alih status aset kripto dari komoditas menjadi Aset Keuangan Digital (AKD). Dengan status baru ini, aset kripto diperlakukan setara dengan surat berharga seperti saham atau obligasi.
“Aset kripto karakteristiknya sesuai dengan surat berharga, dan sebagai aset keuangan digital itu tidak lagi dikenai PPN. Untuk itulah kita perlu mengatur lebih lanjut di dalam peraturan menteri keuangan,” jelas Bimo.
Perubahan status dan pengawasan ini juga sejalan dengan perpindahan kewenangan regulasi dari Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 10 Januari 2025. Peralihan ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk menyusun ulang skema pajak aset digital agar lebih sesuai dengan kerangka sistem keuangan nasional.
Selain mengatur transaksi domestik, PMK 50/2025 juga menetapkan mekanisme pajak untuk exchanger kripto asal luar negeri. Menurut Bimo, hal ini merupakan respons terhadap usulan OJK agar pemain global dalam ekosistem aset kripto turut berkontribusi dalam penerimaan negara.
Untuk itu, pemerintah akan menunjuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri guna memungut, menyetor, dan melaporkan pajak atas transaksi aset kripto. Bila tidak ditunjuk, maka penjual asing wajib menyetor dan melaporkan pajak secara mandiri.
“Menariknya kali ini kita mengatur pajak bagi exchanger luar. Kalau dulu hanya pajak untuk penjual yang tergabung Bappebti dan non-Bappebti. Tujuannya agar teman-teman memakai exchanger dalam negeri,” ujar Bimo.
Tak hanya menyasar transaksi jual beli kripto, regulasi anyar ini juga mencakup layanan platform dan aktivitas mining. Untuk jasa platform, ketentuan pajaknya tidak mengalami perubahan. Namun untuk kegiatan penambangan kripto, PPN dinaikkan dari 1,1% menjadi 2,2% dan akan dikenakan PPh sesuai tarif umum Pasal 17.
Langkah ini menandai pendekatan pemerintah yang lebih progresif dalam mengelola potensi penerimaan negara dari ekonomi digital, khususnya sektor aset kripto yang terus berkembang pesat. []
Diyan Febriana Citra.