Tekanan Israel Berbuah, Hamas Serahkan Jenazah Sandera

Tekanan Israel Berbuah, Hamas Serahkan Jenazah Sandera

GAZA — Ketegangan politik dan kemanusiaan di Jalur Gaza kembali meningkat setelah Hamas menyerahkan sejumlah jenazah sandera kepada Israel, Selasa (14/10/2025). Penyerahan itu dilakukan beberapa jam setelah Israel mengancam akan mengurangi separuh pasokan bantuan kemanusiaan ke wilayah tersebut. Langkah ini menandai babak baru hubungan genting antara kedua pihak, di tengah tekanan keras dari Amerika Serikat yang kini mengambil peran lebih agresif dalam proses perdamaian.

Presiden AS Donald Trump memperingatkan Hamas agar segera melucuti senjata, dengan nada ultimatum yang menegaskan potensi intervensi langsung Washington.

“Jika mereka tidak melucuti senjata, kami akan melucuti senjata mereka. Dan itu akan terjadi dengan cepat dan mungkin dengan kekerasan,” ujar Trump kepada wartawan di Washington, setelah kembali dari kunjungan ke Timur Tengah.

Peringatan itu datang sehari setelah Trump berpidato di Yerusalem, menyebut adanya “fajar bersejarah bagi Timur Tengah yang baru” dan mengklaim rencananya akan mengakhiri perang berkepanjangan di Gaza. Namun, pernyataan ambisius itu berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Di hari yang sama, kelompok bersenjata Hamas kembali menampakkan kekuatannya dengan mengeksekusi sejumlah orang di depan publik di Kota Gaza.

Israel, yang menilai Hamas melanggar kesepakatan gencatan senjata pekan lalu, segera mengumumkan pengurangan bantuan kemanusiaan. Pihak Tel Aviv menyebut Hamas menunda penyerahan jenazah sandera yang tewas dalam serangan ke wilayah Israel pada Oktober 2023. Namun, setelah adanya ancaman dan tekanan internasional, Hamas memberi tahu para mediator bahwa empat jenazah akan diserahkan. Palang Merah kemudian mengonfirmasi telah menerima peti jenazah untuk diserahkan kepada pihak Israel.

Langkah Hamas ini dinilai sebagai bentuk kompromi politik di tengah upaya kelompok tersebut mempertahankan posisi di Gaza. Sejak sebagian pasukan Israel ditarik pekan lalu, Hamas kembali menegaskan kendali di jalan-jalan kota. Sumber internal kelompok itu membenarkan bahwa eksekusi publik yang terekam video pada Senin malam dilakukan oleh anggotanya untuk menegakkan “ketertiban di wilayah Gaza”.

Di sisi lain, pemerintah Israel belum memberikan tanggapan resmi atas kemunculan kembali pasukan Hamas di wilayah perkotaan, sementara Gedung Putih menegaskan akan mengawasi situasi “secara aktif”.

Sebelumnya, pada Senin (13/10/2025), Trump menghadiri pertemuan parlemen Israel dan memuji kesepakatan pertukaran besar terakhir antara kedua pihak 20 sandera Israel ditukar dengan hampir 2.000 tahanan Palestina. Meski demikian, masih ada 23 orang yang diyakini tewas dan satu lainnya belum ditemukan di Gaza.

Kondisi di lapangan terus memburuk. Warga Gaza kini berhadapan dengan krisis kemanusiaan yang kian parah. Lebih dari setengah juta orang mengalami kekurangan pangan akut, sementara bantuan dari luar belum dapat masuk dalam jumlah besar seperti dijanjikan. Serangan udara Israel di Khan Younis dan di timur Kota Gaza kembali menambah jumlah korban jiwa, memperpanjang siklus kekerasan yang seolah tak berujung.

KTT perdamaian di Mesir yang dipimpin langsung oleh Presiden Trump pun belum menghasilkan terobosan berarti. Tidak ada keputusan final mengenai pembentukan pemerintahan transisi atau pasukan internasional di Gaza.

Di tengah situasi itu, Hamas berupaya menunjukkan sisi administratifnya. Kelompok tersebut mengerahkan ratusan pekerja lokal untuk membersihkan puing-puing, memperbaiki jaringan air, dan membuka akses jalan yang tertutup reruntuhan. Upaya tersebut disebut sebagai cara untuk “memulihkan fungsi dasar wilayah Gaza” sekaligus memperkuat citra Hamas sebagai pengendali stabilitas lokal.

Namun, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa perang belum akan berakhir sebelum Hamas menyerahkan seluruh senjatanya dan melepaskan kendali atas wilayah tersebut. Hamas menolak tuntutan itu dan menyatakan akan menindak keras “setiap pihak yang mencoba mengacaukan ketertiban di Gaza”.

Lebih dari dua tahun perang telah menghancurkan sebagian besar wilayah Jalur Gaza. Upaya diplomatik yang dipimpin AS, Mesir, dan Qatar sejauh ini belum membuahkan hasil nyata. Sementara itu, masa depan gencatan senjata kembali berada di ujung tanduk antara tekanan politik global, kepentingan kemanusiaan, dan perebutan legitimasi kekuasaan di Gaza yang terus berlanjut. []

Diyan Febriana Citra.

Internasional