JAKARTA – Perhatian publik kembali tertuju ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tiga majelis hakim yang pernah menjatuhkan vonis lepas dalam perkara ekspor minyak goreng (migor) kini harus menghadapi persidangan perdana mereka sendiri. Sidang tersebut digelar pada Kamis (21/08/2025) dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum.
Mereka adalah hakim Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom. Nama-nama ini sebelumnya menjadi sorotan lantaran dianggap kontroversial dalam memutus perkara ekspor crude palm oil (CPO) yang erat kaitannya dengan kebutuhan pokok masyarakat.
“Agenda pembacaan dakwaan,” jelas Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sunoto, saat dikonfirmasi awak media.
Berdasarkan data resmi, perkara yang menjerat ketiga hakim telah teregister dengan nomor berbeda. Djuyamto tercatat dalam perkara nomor 71/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst, Agam dengan nomor 72/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst, sedangkan Ali terdaftar dalam nomor 73/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst.
Dalam dakwaan yang akan dibacakan, jaksa menduga majelis hakim menerima suap dalam jumlah besar untuk meloloskan terdakwa korporasi dalam kasus ekspor bahan baku minyak goreng. Nilai dugaan suap itu mencapai Rp 22,5 miliar.
Tidak hanya tiga hakim, sejumlah nama lain juga turut disebut dalam konstruksi perkara ini. Mereka di antaranya Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto, serta panitera Wahyu Gunawan.
Skandal ini berawal dari putusan ontslag atau lepas yang dijatuhkan majelis hakim terhadap korporasi terdakwa kasus ekspor migor. Putusan tersebut dianggap janggal, sebab pada saat yang sama publik masih berjuang menghadapi lonjakan harga minyak goreng akibat praktik mafia distribusi dan penyalahgunaan izin ekspor.
Felix Marbun, pengamat hukum dari Universitas Indonesia, menilai kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas lembaga peradilan. “Ketika hakim justru diduga menerima suap dalam perkara yang sangat erat dengan kepentingan rakyat, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kredibilitas perorangan, melainkan marwah institusi peradilan secara keseluruhan,” ujarnya.
Sementara itu, Kejaksaan Agung masih terus mendalami alur dugaan suap. Sebelumnya, penyidik menemukan indikasi bahwa praktik suap telah dimulai bahkan sebelum persidangan kasus migor bergulir. Tawaran awal disebut mencapai Rp 20 miliar, kemudian meningkat hingga Rp 22,5 miliar.
Kasus ini menambah panjang daftar catatan hitam praktik suap di tubuh peradilan Indonesia. Banyak pihak menilai penanganan perkara ini harus dilakukan secara transparan, agar publik tidak semakin kehilangan kepercayaan terhadap proses hukum.
Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan juga menekankan pentingnya pembenahan sistem peradilan. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan masih adanya celah yang dimanfaatkan oknum untuk kepentingan pribadi.
Sidang perdana ini menjadi awal perjalanan panjang dalam membuktikan sejauh mana hukum bisa ditegakkan tanpa pandang bulu. Masyarakat kini menunggu apakah pengadilan akan benar-benar menunjukkan keberpihakan pada keadilan atau kembali larut dalam bayang-bayang kompromi. []
Diyan Febriana Citra.