Trump Desak Presiden Israel Ampuni Netanyahu dari Kasus Korupsi

Trump Desak Presiden Israel Ampuni Netanyahu dari Kasus Korupsi

Bagikan:

WASHINGTON — Permintaan langsung Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada Presiden Israel Isaac Herzog agar memberikan grasi kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menimbulkan polemik baru di Tel Aviv. Surat bertanggal Rabu (12/11/2025) itu menjadi sinyal kuat upaya Trump ikut memengaruhi dinamika politik internal Israel.

Trump, dalam surat yang dikutip Associated Press, menyebut proses hukum yang menjerat Netanyahu sebagai “penuntutan politis yang tidak berdasar”. Ia menilai pemimpin Partai Likud itu telah menunjukkan kepemimpinan kuat di tengah masa perang dan layak mendapatkan pengampunan penuh.

“Saya dengan ini menyerukan kepada Anda untuk sepenuhnya memberikan grasi kepada Benjamin Netanyahu seorang Perdana Menteri masa perang yang tegas dan tangguh, yang kini memimpin Israel menuju masa damai,” tulis Trump.

Langkah ini bukan pertama kalinya Trump angkat suara soal kasus korupsi Netanyahu. Dalam kunjungan ke parlemen Israel bulan lalu, ia juga menyerukan pemberian grasi kepada Netanyahu sambil mempromosikan rencana gencatan senjata di Gaza.

Netanyahu, yang menjadi perdana menteri aktif pertama dalam sejarah Israel yang diadili atas kasus pidana, menghadapi tiga dakwaan: penipuan, penyalahgunaan wewenang, dan suap. Ia bersikeras tidak bersalah dan menuding kasus tersebut sebagai witch hunt perburuan politik yang diatur oleh media dan lembaga hukum.

Melalui akun X, Netanyahu menulis, “Terima kasih, Presiden Trump, atas dukungan luar biasa Anda. Seperti biasa, Anda berbicara apa adanya.” Ia menambahkan harapannya untuk terus memperkuat kerja sama keamanan dan perdamaian antara kedua negara.

Namun, langkah Trump memicu kritik luas. Presiden Herzog mengonfirmasi menerima surat itu, tetapi menegaskan bahwa prosedur grasi hanya bisa dilakukan bila ada pengajuan resmi dari pihak bersangkutan. Ia juga menyebut proses hukum Netanyahu telah menjadi sumber perpecahan politik yang dalam di Israel.

Sementara itu, pakar hukum konstitusi dari Israel Democracy Institute, Amir Fuchs, menegaskan bahwa grasi tanpa pengakuan bersalah “sangat tidak lazim dan bahkan bisa dianggap ilegal.” Ia memperingatkan bahwa jika grasi diberikan setelah tekanan dari luar, pesan yang muncul bisa merusak prinsip supremasi hukum.

Di sisi lain, oposisi Israel menilai intervensi Trump berpotensi memperburuk citra Netanyahu di dalam negeri. Pemimpin oposisi Yair Lapid menulis di X, “Pengingat: hukum Israel menetapkan bahwa syarat pertama untuk menerima grasi adalah pengakuan bersalah dan penyesalan atas tindakan tersebut.” []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Internasional Kasus