Trump Kerahkan Militer ke DC, Picu Kontroversi Politik

Trump Kerahkan Militer ke DC, Picu Kontroversi Politik

WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengambil langkah yang menuai sorotan nasional dengan mengerahkan militer dan penegak hukum federal ke Ibu Kota Washington DC pada Senin (11/08/2025). Kebijakan ini diklaim sebagai upaya memberantas kejahatan kekerasan, namun menuai kritik tajam dari oposisi yang menilai langkah tersebut sarat kepentingan politik.

Trump menyatakan Kepolisian Metropolitan DC kini berada di bawah kendali pemerintah federal. Ia memerintahkan penempatan 800 anggota Garda Nasional di jalan-jalan ibu kota, dengan kemungkinan tambahan unit khusus.

“Ini adalah Hari Pembebasan di DC, dan kami akan merebut kembali ibu kota kami,” tegas Trump kepada wartawan di Gedung Putih.

Washington DC, yang mayoritas warganya mendukung Partai Demokrat, selama ini menjadi sasaran kritik Partai Republik. Isu kejahatan, tunawisma, dan tata kelola keuangan kerap dijadikan amunisi politik. Meski data resmi menunjukkan penurunan signifikan kejahatan kekerasan pada 2023–2024, Trump menuding polisi dan jaksa setempat tidak tegas. Ia juga menargetkan penertiban perkemahan tunawisma, setelah sebelumnya menandatangani perintah yang mempermudah penangkapan gelandangan.

Langkah ini ditentang keras oleh politisi Demokrat. Pemimpin Minoritas DPR AS Hakeem Jeffries menilai kebijakan Trump semata-mata demi “kepentingan pribadi dan politik”. Richard Stengel, mantan pejabat era Barack Obama, bahkan menyebut langkah ini berbahaya. “Sepanjang sejarah, para otokrat menggunakan dalih palsu untuk memaksakan kendali pemerintah atas penegakan hukum lokal,” tulisnya di X.

Trump mengungkapkan, pekan lalu pemerintahannya telah mengirim 500 agen federal, termasuk personel FBI, ATF, DEA, Dinas Rahasia, hingga Departemen Keamanan Dalam Negeri. “Mereka melakukan lusinan penangkapan,” kata Trump, merujuk pada insiden perampasan mobil yang melukai seorang mantan staf Departemen Efisiensi Pemerintah.

Langkah ini menggemakan kebijakan agresif Trump sebelumnya, mulai dari penutupan perbatasan selatan hingga pengerahan pasukan untuk mengendalikan demonstrasi di Los Angeles.

Berbeda dengan 50 negara bagian lain, Washington DC memiliki status unik di bawah Undang-Undang Home Rule sejak 1970-an. Warga memilih wali kota dan dewan kota, namun anggaran dan sejumlah wewenang tetap dikendalikan Kongres. Presiden dapat mengambil alih kepolisian DC selama 30 hari, dan perpanjangan memerlukan persetujuan Kongres yang kemungkinan besar akan dihadang Partai Demokrat.

Wali Kota Muriel Bowser membantah klaim Gedung Putih soal lonjakan kejahatan. “Meskipun tindakan hari ini meresahkan dan belum pernah terjadi sebelumnya, mengingat beberapa retorika di masa lalu, saya tidak bisa mengatakan bahwa kami benar-benar terkejut,” ujarnya.

Sementara Trump berpidato, puluhan demonstran berkumpul di depan Gedung Putih. Elizabeth Critchley (62), pensiunan warga DC, membawa spanduk bertuliskan “DC mengatakan kebebasan, bukan fasisme”. Ia menolak pengerahan militer di ibu kota. “Sama sekali tidak diperlukan Garda Nasional di sini,” katanya.

Bagi pendukung Trump, kebijakan ini adalah simbol ketegasan. Namun bagi para penentangnya, ini adalah langkah yang mengikis otonomi daerah dan membuka pintu intervensi politik yang lebih luas, bahkan ke kota-kota besar lain seperti New York dan Chicago. []

Diyan Febriana Citra.

Hotnews Internasional