BUSAN — Keputusan mengejutkan datang dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang pada Kamis (30/10/2025) memerintahkan militer AS memulai kembali uji senjata nuklir setelah 33 tahun vakum. Langkah tersebut sontak mengguncang tatanan diplomasi global dan memunculkan kekhawatiran akan babak baru perlombaan senjata nuklir dunia.
Perintah itu diumumkan Trump melalui akun media sosialnya, Truth Social, saat berada di helikopter Marine One menuju lokasi pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di Busan, Korea Selatan.
“Karena negara lain melakukan pengujian, saya telah memerintahkan Departemen Perang untuk memulai pengujian senjata nuklir kita secara setara. Proses ini dimulai segera,” tulis Trump.
Belum ada kejelasan apakah pengujian yang dimaksud melibatkan uji coba eksplosif di bawah kendali National Nuclear Security Administration, atau sekadar uji peluncuran sistem senjata nuklir tanpa detonasi. Yang pasti, keputusan ini menandai berakhirnya moratorium nuklir AS yang telah berlaku sejak September 1992, ketika Presiden George H. W. Bush menghentikan seluruh aktivitas uji coba nuklir nasional.
Langkah Trump dinilai sebagai sinyal politik yang diarahkan pada dua kekuatan besar dunia China dan Rusia yang dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan peningkatan aktivitas militer bersenjata nuklir. Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan dilaporkan telah menguji dua sistem senjata nuklir baru, torpedo otonom Poseidon dan rudal jelajah Burevestnik, dalam satu pekan terakhir.
Kendati demikian, Kremlin membantah tuduhan tersebut. Juru bicara Dmitry Peskov mengatakan, “Kami tidak mengetahui ada negara lain yang sedang menguji senjata nuklir,” sambil berharap Trump mendapat informasi yang akurat. Kementerian Luar Negeri China pun menyerukan agar Washington tetap menghormati komitmen moratorium untuk menjaga stabilitas global.
Dari markas besar Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty Organization (CTBTO) di Wina, Sekretaris Eksekutif Robert Floyd mengungkapkan keprihatinannya.
“Uji coba nuklir apa pun akan menjadi langkah mundur yang berbahaya,” ujarnya. Pandangan serupa datang dari Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang memperingatkan risiko kesalahan kalkulasi strategis yang dapat menimbulkan konsekuensi “katastrofik.”
Trump membela keputusannya dengan alasan bahwa langkah tersebut diperlukan agar kemampuan nuklir AS tetap unggul.
“Jika negara lain menguji, maka kita juga sepatutnya melakukannya,” katanya dalam perjalanan pulang ke Washington. Wakil Presiden JD Vance turut mendukung kebijakan itu, menegaskan bahwa pengujian penting untuk memastikan “arsenal nuklir AS berfungsi dengan baik.”
Namun, kritik keras muncul dari Partai Demokrat. Senator Edward Markey menilai kebijakan itu “berisiko memicu perlombaan senjata nuklir baru,” dan berjanji mengajukan rancangan undang-undang untuk melarang pendanaan pengujian. Direktur Arms Control Association, Daryl Kimball, bahkan menyebut langkah tersebut sebagai “reaksi berantai berbahaya” yang bisa menggoyahkan Non-Proliferation Treaty (NPT).
“Trump salah informasi dan terputus dari realitas. Tidak ada alasan teknis, militer, maupun politik bagi AS untuk kembali menguji senjata nuklir,” tegas Kimball.
Kebijakan baru ini menempatkan dunia di persimpangan berbahaya: antara menjaga keseimbangan kekuatan atau membuka kembali babak konfrontasi nuklir global. []
Diyan Febriana Citra.

