WASHINGTON — Kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menuai sorotan setelah hampir 30 duta besar dan diplomat karier senior diperintahkan pulang ke Washington. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya memastikan seluruh perwakilan diplomatik AS di luar negeri sejalan dengan agenda kebijakan “America First” yang kembali menjadi pijakan utama pemerintahan Trump pada periode keduanya.
Sejumlah sumber menyebutkan, penarikan tersebut mencakup diplomat senior yang bertugas di negara-negara kecil, yang selama ini umumnya dipimpin oleh pejabat karier Kementerian Luar Negeri AS tanpa afiliasi politik tertentu. Pemerintah AS menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan kewenangan presiden dan dianggap sebagai praktik yang lazim dalam setiap pergantian pemerintahan.
“Duta besar merupakan perwakilan personal presiden, dan merupakan hak presiden untuk memastikan ada individu di negara-negara tersebut yang memajukan agenda America First,” kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri AS yang meminta identitasnya dirahasiakan, dikutip dari Reuters, Selasa (23/12/2025).
Meski demikian, Kementerian Luar Negeri AS menolak memberikan daftar resmi diplomat yang ditarik pulang. Penolakan ini memicu spekulasi mengenai skala dan dampak kebijakan tersebut, terutama di tengah masih kosongnya puluhan posisi duta besar AS di berbagai negara.
Sumber pejabat AS lainnya mengungkapkan bahwa para diplomat yang dipanggil pulang didorong untuk mencari penugasan baru di lingkungan Kementerian Luar Negeri AS. Namun, proses pemanggilan tersebut disebut berlangsung mendadak dan minim penjelasan, bahkan sebagian diplomat hanya menerima pemberitahuan melalui sambungan telepon.
Situasi ini menuai kritik dari Asosiasi Dinas Luar Negeri Amerika (AFSA) yang mewakili para diplomat dan pegawai dinas luar negeri AS. Organisasi tersebut menyatakan tengah melakukan verifikasi terkait jumlah dan identitas diplomat yang terkena kebijakan tersebut.
“Pemanggilan kembali yang tiba-tiba dan tanpa penjelasan mencerminkan pola sabotase institusional dan politisasi yang sama seperti yang ditunjukkan data survei kami yang sudah merusak moral, efektivitas, dan kredibilitas AS di luar negeri,” kata juru bicara AFSA, Nikki Gamer, dalam pernyataan tertulis yang dikirim melalui email.
Hingga kini, Kementerian Luar Negeri AS belum memberikan tanggapan atas pernyataan tersebut. Sikap diam ini justru memperkuat kekhawatiran sebagian kalangan bahwa kebijakan penarikan diplomat dapat berdampak pada stabilitas dan kontinuitas diplomasi Amerika Serikat di luar negeri.
Langkah ini dinilai sejalan dengan pola yang terlihat sejak Trump memulai masa jabatan keduanya, yakni menempatkan individu-individu yang dianggap loyal di posisi strategis pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahannya, Trump diketahui kerap menghadapi resistensi internal, khususnya dari kalangan diplomat dan pejabat keamanan nasional, dalam menerapkan prioritas kebijakan luar negeri.
Kritik juga datang dari Partai Demokrat. Anggota Demokrat di Komite Hubungan Internasional Senat AS, Jeanne Shaheen, mengecam keras kebijakan tersebut. Ia menilai langkah ini justru melemahkan posisi Amerika Serikat di panggung global, terlebih ketika sekitar 80 posisi duta besar masih belum terisi.
“Presiden Trump menyerahkan kepemimpinan AS kepada China dan Rusia dengan memecat duta besar karier yang melayani dengan setia, tidak peduli siapa pun yang berkuasa,” kata Shaheen dalam unggahannya di platform X.
“Ini membuat Amerika kurang aman, kurang kuat, dan kurang makmur,” lanjutnya.
Sejumlah pengamat menilai, penarikan diplomat karier dalam jumlah besar berpotensi mengganggu hubungan bilateral, terutama di negara-negara yang sangat bergantung pada stabilitas komunikasi diplomatik. Di sisi lain, pemerintahan Trump diyakini akan terus melanjutkan pendekatan kebijakan luar negeri yang lebih transaksional dan berorientasi pada kepentingan domestik AS. []
Diyan Febriana Citra.

