WASHINGTON – Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menghadapi ujian diplomatik besar dalam kunjungan perdananya ke Amerika Serikat pada Senin (25/08/2025). Pertemuan dengan Presiden Donald Trump di Washington dipandang sebagai momen penentu arah hubungan aliansi Seoul–Washington di tengah dinamika keamanan dan ekonomi global.
Lee, yang baru dilantik Juni 2025 lalu setelah memenangi pemilu cepat pasca lengsernya presiden konservatif sebelumnya, dihadapkan pada ekspektasi tinggi. Pertemuan ini bukan sekadar seremoni, melainkan uji awal bagaimana ia menjaga keseimbangan antara komitmen keamanan bersama Amerika Serikat dan kepentingan ekonomi dengan China, mitra dagang terbesar Korea Selatan.
Selama beberapa dekade, Korea Selatan bergantung pada kehadiran militer AS, termasuk jaminan nuklir, untuk menghadapi ancaman Korea Utara. Namun pada saat yang sama, Negeri Ginseng tidak bisa mengabaikan hubungan dagang yang erat dengan Beijing. Kondisi ini menuntut Lee untuk berhati-hati dalam menempatkan posisinya di antara dua kekuatan besar dunia.
Trump sebelumnya berulang kali menyebut Korea Selatan sebagai “mesin uang” yang terlalu bergantung pada perlindungan Amerika. Kritik keras itu menambah tekanan bagi Lee agar bisa menampilkan citra positif di hadapan publik sekaligus menjaga hubungan strategis kedua negara tetap stabil.
“Bagi Lee, pertemuan yang berlangsung tanpa kontroversi justru bisa dianggap hasil yang baik,” ujar Victor Cha, analis dari Center for Strategic and International Studies (CSIS). Ia menilai bahwa yang lebih sulit diprediksi adalah agenda pribadi Trump yang sering kali berbeda dengan arahan para penasihatnya.
Isu perdagangan kemungkinan tetap membayangi pertemuan. Sebelumnya, Seoul dipaksa mencapai kesepakatan darurat untuk menghindari tarif tinggi yang diancam Washington. Meski begitu, pemerintah Korea Selatan berharap agenda utama tetap berfokus pada keamanan, bukan pada perdebatan teknis perdagangan.
“Ada banyak isu besar di bidang keamanan,” kata Kim Yong-beom, Kepala Staf Kebijakan Presiden Lee. “Posisi kami jelas, kesepakatan perdagangan sudah ditetapkan sebelumnya. Kami berharap detail implementasi tidak masuk dalam agenda pertemuan.”
Selain perdagangan dan biaya aliansi, isu Korea Utara akan menjadi topik sensitif. Lee mendorong pendekatan bertahap untuk membekukan hingga menghentikan program nuklir Pyongyang, meski sejauh ini upaya dialog masih ditolak oleh pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Uji coba sistem pertahanan udara terbaru Korea Utara pada akhir pekan lalu semakin menegaskan tantangan tersebut.
Trump diperkirakan juga akan menekan Seoul agar meningkatkan kontribusi miliaran dolar untuk biaya pemeliharaan 28.500 pasukan AS di Korea Selatan. Tekanan itu kemungkinan akan diperkuat dengan permintaan tambahan pembelian senjata dari perusahaan pertahanan Amerika.
Untuk menyeimbangkan narasi, setelah pertemuan dengan Trump, Lee dijadwalkan mengunjungi galangan kapal Hanwha Group di Philadelphia. Agenda itu dimaksudkan untuk menyoroti besarnya investasi Korea Selatan di Amerika, sekaligus memperlihatkan kontribusi Seoul dalam mendukung industri dalam negeri AS.
Sebelum ke Washington, Lee juga bertemu Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba di Tokyo. Pertemuan ini menegaskan kembali pentingnya kerja sama trilateral Seoul–Tokyo–Washington sebagai penopang stabilitas kawasan. Ishiba bahkan memberikan masukan langsung tentang pengalamannya berhadapan dengan Trump, sesuatu yang diyakini berguna bagi Lee dalam pertemuan penting kali ini.
Dengan segala dinamika tersebut, perjalanan diplomatik perdana Presiden Lee ke Washington jelas akan menjadi tolok ukur bagaimana ia mengelola hubungan dengan mitra strategis sekaligus menavigasi tekanan geopolitik yang semakin kompleks. []
Diyan Febriana Citra.