JAKARTA – Rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Pemilu mulai menuai perhatian dari berbagai kalangan. Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan langkah ini penting dilakukan, terlebih setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memengaruhi sejumlah aturan terkait sistem pemilu.
Menurut Yusril, perubahan tersebut tidak hanya sekadar penyesuaian hukum, melainkan juga bagian dari agenda reformasi politik yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
“Hal-hal yang lain juga perubahan terhadap Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Kepartaian, itu memang sedang akan kita lakukan, karena sudah ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa sistem pemilu kita harus diubah, tidak ada lagi threshold dan lain-lain sebagainya,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (04/09/2025).
Yusril menilai sistem pemilu saat ini belum sepenuhnya memberikan kesempatan yang adil bagi semua warga negara untuk berpartisipasi. Ia menyoroti fenomena dominasi selebritas dan figur berduit dalam perebutan kursi parlemen.
“Pak Presiden pun di awal-awal masa pemerintahan beliau menegaskan bahwa kita perlu melakukan reformasi politik yang seluas-luasnya, supaya partisipasi politik itu terbuka bagi siapa saja, dan tidak hanya orang-orang yang punya uang, tidak saja mereka yang selebriti, artis, yang menjadi politisi, tapi harus membuka kesempatan pada semua,” kata Yusril.
Di sisi lain, kritik terhadap kualitas anggota DPR juga menjadi alasan perlunya revisi. Yusril menilai aturan saat ini menutup peluang bagi figur berbakat yang sesungguhnya memiliki kompetensi untuk menjadi wakil rakyat.
“Sistem sekarang ini membuat orang yang berbakat politik tidak bisa tampil ke permukaan, sehingga diisi oleh para selebriti, diisi oleh artis, dan kita lihat ada kritik terhadap kualitas anggota DPR sekarang ini, dan pemerintah menyadari hal itu,” tegasnya.
Dukungan atas rencana revisi ini datang dari DPR RI, salah satunya melalui anggota Komisi II Fraksi PKS, Mardani Ali Sera. Ia menilai revisi UU Pemilu bukan sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
“Revisi Pemilu wajib dilakukan. Alasannya untuk memperbaiki kualitas demokrasi kita. Keputusan MK juga banyak memberi poin bagi revisi UU Pemilu. Mulai perubahan parliamentary threshold hingga pilkada dan presidential threshold,” kata Mardani, Sabtu (06/09/2025).
Mardani menjelaskan, Komisi II DPR sudah beberapa kali menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu, DPR juga menyerap aspirasi dari kalangan akademisi, praktisi, hingga organisasi masyarakat sipil.
“Kami di Komisi II terus melakukan RDP dengan para stakeholder Semoga 2025 ini bisa dimulai prosesnya dan 2026 selesai revisinya,” tambahnya.
Dengan adanya proses revisi yang melibatkan berbagai pihak, publik menaruh harapan agar hasilnya benar-benar mampu menghadirkan sistem pemilu yang lebih transparan, adil, dan inklusif. Reformasi ini dipandang penting bukan hanya untuk memperbaiki mekanisme teknis, melainkan juga untuk memperkuat fondasi demokrasi Indonesia ke depan. []
Diyan Febriana Citra.