Vonis Eks Dirjen Kemenhub: 7,5 Tahun Penjara

Vonis Eks Dirjen Kemenhub: 7,5 Tahun Penjara

JAKARTA – Kasus korupsi yang melibatkan mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Prasetyo Boeditjahjono, telah memasuki babak akhir. Prasetyo divonis tujuh tahun enam bulan penjara atas perannya dalam skandal korupsi proyek pembangunan jalur kereta api Besitang–Langsa, Sumatra Utara–Aceh, yang berlangsung sepanjang 2017 hingga 2023.

Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menyatakan Prasetyo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Perbuatan tersebut menyebabkan kerugian negara yang mencapai Rp562,5 miliar.

“Menyatakan Terdakwa Prasetyo Boeditjahjono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,” ujar Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti Tambunan saat membacakan amar putusan, Senin (21/07/2025).

Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun 6 bulan, denda Rp500 juta subsider 4 bulan kurungan, serta mewajibkan terdakwa membayar uang pengganti senilai Rp2,6 miliar. Jika Prasetyo tidak sanggup membayar uang pengganti tersebut, harta bendanya dapat disita dan dilelang. Apabila nilai aset tidak mencukupi, maka ia harus menjalani tambahan pidana kurungan selama 2 tahun 8 bulan.

“Dalam hal terdakwa saat itu terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan 8 bulan,” imbuh hakim.

Majelis hakim juga menekankan bahwa tindakan korupsi Prasetyo bertentangan dengan semangat pemerintah dalam memberantas korupsi dan telah merusak kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Perbuatan tersebut dinilai sangat merugikan kepentingan rakyat, mengingat proyek tersebut merupakan bagian dari rencana konektivitas transportasi di wilayah barat Indonesia.

Meskipun demikian, hakim mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan vonis, seperti sikap sopan terdakwa selama persidangan, usia lanjut, dan adanya tanggungan keluarga.

Dalam proses persidangan sebelumnya, jaksa menuntut hukuman lebih berat, yakni pidana penjara selama 9 tahun. Jaksa meyakini Prasetyo menerima keuntungan pribadi dari proyek tersebut dan menuntut denda Rp750 juta serta uang pengganti Rp2,6 miliar. Jika tak sanggup membayar, jaksa menuntut penggantinya berupa kurungan selama 4 tahun 6 bulan.

Kasus ini menyentil persoalan mendasar dalam pengelolaan proyek-proyek strategis nasional. Ketika jabatan tinggi digunakan untuk menyalahgunakan anggaran negara, dampaknya bukan hanya pada kerugian material, tapi juga pada gagalnya pembangunan yang seharusnya mempercepat pertumbuhan daerah tertinggal.

Skandal ini menjadi bukti bahwa pengawasan terhadap proyek infrastruktur, terutama yang bernilai besar, masih memerlukan penguatan. Transparansi, akuntabilitas, dan sistem pelaporan yang terbuka harus diperkuat agar proyek kereta api atau pembangunan lain benar-benar memberi manfaat maksimal bagi masyarakat. []

Diyan Febriana Citra.

Hotnews Nasional