JAKARTA – Perubahan besar yang dipicu oleh kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi tantangan nyata bagi lulusan perguruan tinggi di Indonesia. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, mengingatkan bahwa generasi muda tidak boleh pasif di tengah gelombang transformasi tersebut.
“Kita hidup di era yang ditandai dengan perubahan besar. Artificial Intelligence akan menghapus 92 juta jenis pekerjaan, tetapi sekaligus menciptakan 97 juta pekerjaan baru. Kuncinya adalah bagaimana kita mempersiapkan diri dengan keterampilan baru, sehingga kita bisa merebut peluang, bukan tergilas oleh perubahan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (11/09/2025).
Menurut Stella, kelulusan dari bangku kuliah seharusnya dipandang sebagai pintu awal untuk menghadapi tantangan zaman. Ia menegaskan bahwa dunia kerja ke depan akan jauh berbeda dibandingkan saat ini, dan hanya mereka yang siap beradaptasi yang mampu bertahan.
Dalam keterangannya, Stella menekankan bahwa sekadar menguasai teknologi tidak cukup. “Pendidikan harus menumbuhkan karakter, empati, serta kemampuan berpikir tingkat tinggi yang tidak dapat direplikasi oleh mesin,” katanya.
Ia menilai, keterampilan seperti kreativitas, berpikir kritis, kemampuan bekerja sama, serta empati merupakan nilai tambah yang justru semakin penting di era digital.
“AI memang membawa disrupsi yang nyata, tetapi dengan intervensi yang tepat, kita bisa memastikan manfaatnya lebih besar daripada risikonya,” tegasnya.
Wamendiktisaintek itu menambahkan, kunci utama dalam menghadapi era AI adalah kesiapan untuk terus belajar sepanjang hayat. Menurutnya, pola pikir terbuka dan kemampuan beradaptasi akan sangat menentukan arah masa depan generasi muda.
“Generasi muda harus siap menghadapi perubahan dengan sikap terbuka, kemampuan beradaptasi, serta komitmen untuk terus belajar sepanjang hayat,” ucap Stella.
Pernyataan Stella sejalan dengan pandangan Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Atip Latipulhayat. Ia menilai AI bukan sekadar kebutuhan, melainkan akan menjadi kewajiban di masa depan.
“Sehebat-hebatnya AI, sebagaimana ditunjukkan oleh Prof Habibie, original intelligence itu adalah otak kita. Jadi, tidak mungkin manusia menciptakan suatu teknologi yang akan menghilangkan eksistensi diri kita sendiri, selama itu dibuat oleh manusia,” kata Atip.
Sebagai tindak lanjut, pemerintah merencanakan penerapan mata pelajaran pilihan terkait AI agar para pelajar dapat memahami teknologi tersebut sejak dini. Harapannya, generasi muda tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga pencipta yang mampu mengembangkan inovasi berbasis teknologi.
Dengan langkah ini, pendidikan Indonesia diarahkan agar tidak sekadar menghasilkan lulusan yang terampil secara teknis, tetapi juga tangguh secara karakter untuk menghadapi dunia kerja yang terus berubah. []
Diyan Febriana Citra.