TEGAL – Seratus hari pertama pemerintahan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono bersama Wakil Wali Kota Tazkiyatul Muthmainnah menghadapi sorotan tajam dari kalangan nelayan. Meskipun program-program awal telah dicanangkan, masyarakat pesisir menilai realisasinya belum menyentuh kebutuhan mendesak mereka.
Kritik paling tajam datang dari Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah, Riswanto. Ia menyampaikan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah kota dinilai belum berpihak pada kepentingan nelayan, baik dari sisi kelautan, perikanan, maupun pemberdayaan masyarakat pesisir.
“Masih jauh dari harapan nelayan dan masyarakat pesisir. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya keluhan warga melalui kelompok nelayan dan komentar media sosial yang viral,” ujar Riswanto dalam keterangan tertulis, Kamis (12/06/2025).
Salah satu isu utama yang dikeluhkan adalah persoalan sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan alur sungai. Hal ini menyulitkan aktivitas keluar-masuk kapal nelayan.
“Parahnya sedimentasi juga dapat mengakibatkan banjir dan rob saat air laut pasang. Ini melumpuhkan aktivitas warga dan merugikan tambak milik masyarakat,” ungkapnya.
Kondisi itu diperparah dengan abrasi pantai yang semakin mengancam wilayah permukiman dan tambak, terutama di Kelurahan Muarareja. Di sisi lain, masih terdapat tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten Tegal yang menghambat penanganan infrastruktur pesisir.
Sejumlah sungai seperti Kalibacin, Kalikemiri, dan Kalisibelis mengalami sedimentasi parah namun belum tertangani secara serius.
“Padahal nelayan kecil di Kota Tegal berkontribusi melalui pembayaran retribusi TPI,” kata Riswanto, menyoroti ketimpangan perhatian pemerintah terhadap kontribusi ekonomi sektor nelayan.
Masalah kepemilikan aset juga mencuat. Lahan dan bangunan penting di kantong nelayan Muarareja, termasuk pasar dan SPBUN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Nelayan), masih berada di bawah kewenangan Pemkab Tegal.
“Beberapa rumah warga bersertifikat tapi berdiri di atas tanah milik Pemkab. Jika status lahan tidak diperjelas, potensi pembiaran dan stagnasi ekonomi bisa terjadi,” tambahnya.
Tak hanya akses laut, nelayan juga mengeluhkan fasilitas darat. Mereka harus memanfaatkan gerobak modifikasi untuk mengangkut ikan dan es balok, bahkan untuk memperoleh BBM subsidi.
“Mereka harus mengangkut ikan dan es balok menggunakan gerobak modifikasi, begitu pula saat pengisian BBM subsidi,” ujarnya.
Isu kesejahteraan juga mengemuka. Upaya pengolahan hasil laut yang banyak dikelola perempuan nelayan dinilai belum mendapat dukungan maksimal dari pemerintah.
“Potensi olahan hasil laut belum mampu menaikkan kelas ekonomi warga pesisir karena kurangnya pendampingan dan minimnya dukungan dari Pemkot,” terang Riswanto.
Meski Kota Tegal mengusung slogan “Tegal Kota Bahari,” implementasi terhadap branding tersebut belum terasa kuat. Produk-produk perikanan belum sepenuhnya diangkat sebagai identitas daerah.
“Sayangnya, belum ada keseriusan mengangkat khas kuliner dari hasil tangkapan ikan sebagai identitas ekonomi pesisir,” pungkas Riswanto.
Kritik ini menunjukkan pentingnya keterlibatan aktif Pemkot dalam mendengar dan menjawab kebutuhan masyarakat pesisir agar pembangunan yang dilakukan lebih inklusif dan berdampak langsung bagi nelayan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi maritim di Kota Tegal. []
Diyan Febriana Citra.