SAMARINDA — Perseteruan antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan perusahaan transportasi daring PT Maxim mencapai puncaknya setelah kantor operasional perusahaan tersebut di Samarinda resmi disegel pada Kamis (31/07/2025). Aksi penyegelan dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kaltim sebagai bentuk penegakan terhadap aturan daerah terkait tarif angkutan sewa khusus (ASK).
Langkah ini bukan tanpa peringatan. Kepala Bidang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat Satpol PP Kaltim, Edwin Noviansyah, menyampaikan bahwa sebelumnya pihaknya telah melayangkan tiga surat peringatan resmi (SP1 hingga SP3) kepada PT Maxim. Namun, tidak ada respons yang memuaskan dari pihak perusahaan.
“Ini tindakan tegas karena mereka tidak taat regulasi. Sudah kami beri peringatan berkali-kali, tapi tidak digubris. Hari ini kami eksekusi penyegelan,” ujar Edwin, Kamis (31/07/2025).
Persoalan berakar pada perbedaan penetapan tarif. PT Maxim disebut tetap menggunakan acuan tarif dari kementerian, bukan Surat Keputusan (SK) Gubernur Kaltim Nomor 100.3.3.1/K.673/2023 yang menetapkan tarif batas bawah sebesar Rp 18.800. Sejak 1 Juli 2025, Maxim justru menerapkan tarif sebesar Rp 13.600, yang dinilai melanggar kesepakatan bersama pada 7 Juli 2025 lalu.
Menurut Edwin, aturan dari Kementerian Perhubungan memberi wewenang kepada gubernur untuk menetapkan tarif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal.
“Mereka tetap merujuk pada aturan dari kementerian, padahal gubernur punya kewenangan penuh di daerah. Ini bentuk pembangkangan terhadap otoritas daerah,” tegasnya.
Penyegelan dilakukan dengan melibatkan unsur kepolisian, Dinas Perhubungan, dan Bank Kaltimtara. Walaupun aplikasi Maxim tetap beroperasi secara digital karena berada di luar yurisdiksi pemerintah daerah semua aktivitas kantor fisik di Samarinda dihentikan sementara.
Langkah ini disambut baik oleh para pengemudi transportasi daring yang tergabung dalam Aliansi Mitra Kaltim Bersatu (AMKB). Mereka menilai penurunan tarif sepihak oleh Maxim telah menurunkan pendapatan dan melemahkan posisi mereka dalam sistem kemitraan.
“Kami perjuangkan SK ini lama, dan Maxim secara sepihak menurunkan tarif tanpa pemberitahuan. Ini jelas merugikan kami. Kalau mereka tidak mau ikuti aturan daerah, ya silakan angkat kaki dari Kaltim,” kata Lukmanil Hakim, juru bicara AMKB.
AMKB juga menegaskan bahwa dukungan mereka terhadap penyegelan bukan bertujuan menutup operasional perusahaan, tetapi untuk mendorong kesesuaian dengan peraturan lokal. Ivan Jaya, anggota AMKB lainnya, menegaskan bahwa pihaknya siap menerima kembali Maxim jika bersedia mematuhi aturan.
“Bukan berarti kami ingin Maxim tutup. Harapan kami mereka menaikkan kembali tarif sesuai SK Gubernur. Kalau patuh, kami akan tetap menyambut,” ujarnya.
AMKB pun memperingatkan bahwa tindakan serupa akan mereka dorong jika aplikator lain seperti Grab atau Gojek juga melanggar aturan tarif daerah. “Kami akan terus dorong ketegasan. Kalau Grab atau Gojek juga melanggar, kami akan desak tindakan serupa,” kata Yohanes dari AMKB.
Ketegangan ini mencerminkan persoalan besar antara desentralisasi kewenangan daerah dan regulasi pusat dalam tata kelola ekonomi digital, khususnya di sektor transportasi daring yang berkembang pesat. []
Diyan Febriana Citra.