INDRAMAYU – Sebuah kegiatan majelis taklim di Desa/Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu, berujung keributan pada Selasa (09/09/2025) malam. Perselisihan muncul akibat penggunaan pengeras suara yang dianggap terlalu bising hingga melampaui batas waktu istirahat warga.
Kapolsek Balongan, AKP Dedi Wahyudi, mengungkapkan bahwa penyebab utama ketegangan adalah suara musik hadroh yang diputar dengan volume tinggi.
“Selanjutnya silakan suara sound system dikecilkan karena sebagian masyarakat sekitar ada yang terganggu dengan suara musik hadroh yang menurut warga cukup kencang,” ujar Dedi saat dikonfirmasi, Rabu (10/09/2025).
Menurut keterangan polisi, situasi sempat memanas karena sejumlah warga merasa kesal dengan panitia majelis yang dianggap mengabaikan aturan. Namun, berkat mediasi cepat, kericuhan berhasil diredam dan kegiatan dapat dihentikan tanpa insiden lebih lanjut.
Salah seorang warga, Sodiqin, menyampaikan kekecewaannya. Ia menegaskan bahwa sebelumnya sudah ada kesepakatan bersama bahwa acara majelis taklim dibatasi hingga pukul 22.00 WIB. “Kami mendukung kegiatan keagamaan, tapi ada aturan yang harus dipatuhi. Jangan sampai kegiatan ibadah mengganggu ketenangan masyarakat lain,” kata Sodiqin.
Ia juga mengingatkan agar panitia lebih bijak dalam mengatur jadwal dan penggunaan pengeras suara. “Kalau masih terulang, kami tidak segan-segan membuat laporan. Jangan sampai kegiatan keagamaan justru memicu keributan,” tegasnya.
Kasus ini kembali membuka perbincangan mengenai aturan penggunaan pengeras suara di ruang publik, khususnya dalam konteks kegiatan keagamaan. Di banyak daerah, kegiatan majelis taklim, tahlilan, hingga peringatan hari besar keagamaan kerap menggunakan pengeras suara. Meski tujuan utamanya adalah untuk syiar, namun jika tidak dikelola dengan baik, justru berpotensi menimbulkan gesekan dengan masyarakat sekitar.
Sejumlah tokoh masyarakat setempat juga menilai penting adanya keseimbangan antara semangat keagamaan dengan menjaga ketertiban umum. Mereka mengingatkan bahwa pelaksanaan ibadah semestinya membawa suasana damai, bukan malah memicu pertentangan.
Kejadian di Balongan ini menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan persepsi tentang toleransi suara dapat berkembang menjadi konflik. Aparat berharap semua pihak dapat belajar dari insiden ini, agar ke depan penyelenggaraan kegiatan serupa lebih tertib, menghormati aturan, serta memperhatikan kepentingan warga sekitar.
Dengan demikian, keberlangsungan kegiatan keagamaan tetap dapat berjalan tanpa harus mengorbankan kenyamanan masyarakat yang lain. Sinergi antara penyelenggara acara, warga, dan aparat keamanan menjadi kunci untuk mencegah konflik serupa terulang kembali. []
Diyan Febriana Citra.