DENPASAR – Menjelang akhir tahun 2025, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali mencatat capaian signifikan dalam upaya menjaga keuangan negara. Melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun), institusi ini berhasil memulihkan kerugian negara senilai Rp5,94 miliar.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra, menyebut pemulihan tersebut berasal dari berbagai kegiatan, mulai dari pendampingan, pemberian bantuan hukum, hingga penyelesaian perkara perdata dan tata usaha negara baik di dalam maupun di luar pengadilan.
“Kinerja Datun tidak hanya sebatas menangani perkara litigasi, tapi juga non-litigasi dan pemberian pertimbangan hukum. Fungsi ini sangat strategis karena mampu mencegah potensi kerugian negara sebelum membesar,” ujar Eka Sabana saat konferensi pers, Jumat (19/9/2025).
Sepanjang Januari hingga September 2025, Kejati Bali menerima 15 perkara baru dan masih menyelesaikan 33 perkara sisa tahun 2024.
Dari total tersebut, 11 perkara sudah tuntas, sementara sisanya masih berjalan. Bidang Datun juga menjalin tiga kerja sama baru (MoU) dengan sejumlah instansi dan menerima dua Surat Kuasa Khusus (SKK) untuk menangani perkara perdata.
Tak hanya fokus pada bidang perdata, Kejati Bali bersama kejaksaan negeri se-Bali juga aktif menindaklanjuti perkara tindak pidana korupsi (Tipikor).
Tercatat, hingga kuartal ketiga tahun ini ada 63 perkara korupsi yang ditangani. Dari jumlah itu, 41 kasus masih pada tahap penyelidikan, sementara 22 kasus sudah naik ke tahap penyidikan.
“Khusus di tingkat Kejati Bali sepanjang 2025 tercatat ada 12 perkara pada tahap penyelidikan dan 4 perkara pada tahap penyidikan,” jelasnya.
Jenis kasus yang ditangani cukup beragam, mulai dari dugaan penyelewengan dana Lembaga Perkreditan Desa (LPD), penyalahgunaan dana Kredit Usaha Rakyat (KUR), pengelolaan keuangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), hingga perkara perizinan rumah subsidi di Buleleng. Beberapa perkara dengan nilai kerugian kecil, seperti Rp5 juta atau Rp10 juta, dihentikan setelah pihak terduga pelaku mengembalikan kerugian ke kas desa atau lembaga terkait.
Menurut Eka, penyidikan kasus korupsi sering kali memakan waktu panjang karena pelaku berupaya menyembunyikan modus maupun bukti. “Kita juga tetap berusaha bekerja secara optimal, maksimal, secara profesional. Kita juga menangani perkara tidak berdasarkan tebang pilih atau berdasarkan pesanan, tapi benar-benar murni dari alat bukti yang terkumpul,” tegasnya.
Ia menambahkan, laporan masyarakat tetap menjadi salah satu sumber utama penanganan kasus korupsi, meskipun tidak semua laporan dapat langsung ditindaklanjuti. Sebelum masuk tahap penyidikan, laporan harus melalui proses klarifikasi dan verifikasi. Salah satunya kasus perizinan rumah subsidi di Buleleng yang menyeret Kepala Dinas PMPTSP setempat, I Made Kuta, sebagai terlapor.
Dengan capaian pemulihan kerugian negara dan penanganan puluhan perkara korupsi, Kejati Bali menegaskan komitmennya menjaga keuangan negara serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu.[]
Putri Aulia Maharani