Kasus Jual-Beli Buku SD Samarinda, Orangtua Akui Tertekan

Kasus Jual-Beli Buku SD Samarinda, Orangtua Akui Tertekan

SAMARINDA – Dugaan praktik jual-beli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) kembali mencuat di salah satu sekolah dasar negeri di kawasan Samarinda Utara. Seorang wali murid, Shanty Ramadhania, mengaku mendapat tekanan setelah mempertanyakan rekomendasi pembelian buku tersebut yang diarahkan kepada para orang tua siswa.

Shanty menuturkan, isu pembelian LKS pertama kali ia ketahui melalui grup percakapan orang tua murid sejak awal September 2025. Dalam pesan tersebut, disebutkan bahwa LKS bersifat tidak wajib, namun diarahkan untuk dibeli di rumah salah satu guru, lengkap dengan lokasi yang dibagikan.

“Saya tanya kenapa masih ada pembelian buku, tapi di grup tidak ada respon. Saya juga japri wali kelas, tetap tidak ditanggapi,” ujar Shanty ketika ditemui pada Jumat (26/9).

Tak mendapat jawaban yang jelas, Shanty akhirnya menemui wali kelas bersama dua guru yang menjual LKS. Kepala sekolah juga sempat memberi penjelasan melalui sambungan telepon. Menurut penjelasan itu, LKS memang tidak diwajibkan, tetapi dinilai dapat menunjang capaian nilai siswa.

“Bahasanya, mau nilai setengah gelas atau full sampai bibir. Jadi kan kesannya wajib,” ungkap Shanty menirukan penjelasan kepala sekolah.

Adapun LKS yang ditawarkan terdiri atas tujuh mata pelajaran dengan harga Rp20 ribu per buku. Jika ditotal, orang tua harus mengeluarkan sekitar Rp140 ribu untuk seluruh paket.

Namun, permasalahan tidak berhenti di situ. Shanty mengaku mendapat tekanan setelah terus mempertanyakan dasar kebijakan pembelian LKS tersebut. Tekanan itu bahkan dikaitkan dengan anaknya yang disebut-sebut bisa dikeluarkan dari sekolah.

“Alasannya saya orang tua yang tidak bisa diatur. Walau Dinas Pendidikan bilang anak saya akan dilindungi, saya tetap khawatir mental anak saya kena tekanan,” imbuhnya.

Ketika ditanya mengenai kesamaan LKS tersebut dengan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) yang disediakan Pemerintah Kota Samarinda, Shanty menegaskan bahwa buku yang ditawarkan berbeda. “Ini berbeda, ada penerbitnya,” katanya singkat.

Kasus dugaan jual-beli LKS ini kembali menjadi sorotan karena bertentangan dengan aturan yang menekankan bahwa sekolah negeri tidak boleh memaksa atau mengarahkan wali murid membeli buku dari pihak tertentu. Meski disebut tidak wajib, praktik semacam ini kerap menimbulkan persepsi seolah orang tua tidak memiliki pilihan lain demi menunjang prestasi anaknya di sekolah. []

Putri Aulia Maharani

Berita Daerah Kasus