SAMARINDA – Ratusan tenaga honorer non-database di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) hingga kini masih menghadapi ketidakpastian status. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kaltim menegaskan, seluruh kewenangan terkait penyelesaian nasib mereka berada di tangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKD Kaltim, Yuli Fitriyanti, mengungkapkan pihaknya telah melakukan komunikasi intensif dengan KemenPAN-RB sejak beberapa bulan lalu. Bahkan, Pemprov Kaltim telah melayangkan surat resmi pada Mei lalu yang ditandatangani langsung oleh gubernur.
“Semua persoalan terkait honorer sudah kami sampaikan. Namun, jawaban yang kami terima sampai saat ini tetap sama, yakni menunggu instruksi resmi dari KemenPAN-RB,” jelas Yuli.
Ia menambahkan, BKD tidak memiliki kewenangan menetapkan kebijakan sendiri karena seluruh aturan kepegawaian diatur oleh pemerintah pusat. Saat ini, BKD masih fokus pada pengangkatan ASN tahap I dan II, serta rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu.
“Persoalan honorer ini tidak hanya terjadi di Kaltim, tapi juga di berbagai daerah lain. Karena itu kemungkinan penyelesaiannya akan dilakukan bertahap oleh pemerintah pusat,” imbuhnya.
Meski demikian, Pemprov Kaltim menegaskan tetap memberikan perhatian serius terhadap keberadaan tenaga honorer non-database. BKD juga siap memfasilitasi pertemuan tambahan dengan kementerian bila diperlukan. “Gubernur juga sudah menegaskan dukungan penuh agar ada jalan keluar yang jelas,” lanjutnya.
Sementara itu, perwakilan honorer non-database, Rizqi Pratama, menyampaikan bahwa komunikasi yang sebelumnya dilakukan dengan KemenPAN-RB sempat memberikan sedikit harapan. Menurutnya, peluang pengangkatan menjadi ASN tetap terbuka, hanya saja pelaksanaannya akan disesuaikan dengan regulasi nasional dan dilakukan secara bertahap.
“Kami diminta tetap bersabar dan terus berkoordinasi sampai aturan khusus diterbitkan,” ujarnya.
Rizqi juga menyoroti perbedaan data jumlah tenaga honorer non-database di Kaltim. Menurut versi honorer, jumlahnya mencapai sekitar 600 orang, sedangkan data resmi BKD mencatat hanya sekitar 300 orang. Ia menilai, ketidaksamaan data ini juga menjadi kendala dalam proses advokasi.
Sebagai perbandingan, Rizqi mencontohkan langkah Pemprov Sumatera Selatan yang telah mengubah status honorer non-database menjadi tenaga teknis melalui penerbitan Surat Keputusan (SK). Dengan langkah tersebut, kedudukan para honorer menjadi lebih jelas. “Misalnya sopir atau satpam bisa dialihkan menjadi operator atau tenaga pendukung teknis. Harapannya pola ini bisa ditiru di Kaltim,” pungkasnya. []
Putri Aulia Maharani