KemenHAM Akui Kasus Pelanggaran HAM Berat Masih Belum Tuntas

KemenHAM Akui Kasus Pelanggaran HAM Berat Masih Belum Tuntas

Bagikan:

JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) mengakui bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan hingga kini. Upaya panjang yang ditempuh negara, baik melalui jalur peradilan maupun mekanisme di luar pengadilan, dinilai belum mampu menghadirkan keadilan yang sepenuhnya dirasakan oleh korban dan keluarga mereka.

Pengakuan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM KemenHAM, Munafrizal Manan, saat peluncuran dan publikasi peta jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Jakarta, Senin (15/12/2025). Ia menegaskan bahwa realitas tersebut tidak dapat dipungkiri.

“Saya kira diakui ataupun tidak diakui, faktanya adalah kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sampai saat ini belum terselesaikan,” kata Munafrizal.

Ia menyebut kondisi ini sebagai bagian dari beban sejarah yang masih dihadapi bangsa Indonesia. Hingga hari ini, menurutnya, negara belum berhasil menghadirkan penyelesaian yang bersifat final atas berbagai kasus pelanggaran HAM berat.

“Jadi ini salah satu warisan sejarah yang sampai hari ini kita hadapi, kita belum bisa menghadirkan penyelesaian final atas kasus-kasus tersebut,” imbuh dia.

Munafrizal menilai, kendati berbagai langkah telah dilakukan, proses penyelesaian kerap menemui jalan buntu. Negara seolah berada dalam situasi yang kompleks dan berlapis, sehingga sulit menemukan satu skema yang benar-benar mampu menjawab seluruh tuntutan keadilan.

Namun demikian, ia menekankan bahwa Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi persoalan tersebut. Sejumlah negara lain dengan pengalaman kelam pelanggaran HAM berat juga mengalami tantangan serupa.

“Sebutlah misalnya, apa yang terjadi di Jerman dulu pada masa Nazi, ada penyelesaian bahkan di gelar pengadilan HAM internasional mungkin terakhir itu, tapi juga itu bukan penyelesaian yang memuaskan. Karena sampai sekarang juga masih banyak juga yang merasa tidak puas atas penyelesaian itu,” jelasnya.

Ia menambahkan, kondisi serupa juga terjadi di sejumlah negara lain.

“Atau misalnya contoh kasus lain di Rwanda juga seperti itu, Afrika Selatan, Bosnia yang terjadi, semua seperti itu,” sambung dia.

Menurut Munafrizal, pengalaman internasional tersebut menunjukkan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat hampir selalu meninggalkan rasa ketidakpuasan, khususnya bagi korban dan keluarga korban yang terdampak langsung.

Di Indonesia, jalur yudisial telah ditempuh terhadap empat kasus, yakni Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok, dan Paniai. Namun, proses hukum tersebut belum menghasilkan putusan yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku.

“Artinya itu pun dalam perspektif keadilan orang-orang dan keluarganya juga mungkin akan bertanya juga apakah penyelesaian yudisial seperti itu,” ujar dia.

Ia menjelaskan bahwa salah satu hambatan terbesar dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah persoalan pembuktian. Sebagai tindak pidana khusus, kasus-kasus tersebut menuntut standar pembuktian yang sangat ketat.

“Untuk bisa menghukum orang itu kan harus beyond reasonable doubt, jadi tidak boleh ada keraguan. Nah lembaran pembuktian itulah yang dihadapi oleh penegak hukum sulit ya,” katanya.

Selain empat kasus yang telah dibawa ke pengadilan, Munafrizal menyebut masih terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat lain yang belum tuntas. Kendala pembuktian menjadi tantangan utama bagi Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam menindaklanjuti perkara-perkara tersebut.

Di luar jalur peradilan, pemerintah juga menempuh mekanisme non-yudisial, khususnya pada era pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Langkah tersebut dilakukan melalui pembentukan tim dan penerbitan keputusan presiden guna memberikan pemulihan kepada korban.

Namun, upaya itu dinilai belum menjangkau sebagian besar korban. Dari sekitar 7.000 korban yang telah teridentifikasi, baru sekitar 600 orang yang menerima pemulihan dari negara.

“Artinya kurang dari 10 persen, 7.000 yang sudah teridentifikasi,” ungkapnya.

Munafrizal menegaskan bahwa peta jalan penyelesaian yang diluncurkan KemenHAM diharapkan menjadi panduan untuk memperbaiki pendekatan negara ke depan. Meski tantangan masih besar, ia menyebut komitmen untuk terus mencari solusi tetap menjadi keharusan agar keadilan tidak berhenti sebagai wacana semata. []

Diyan Febriana Citra.

Bagikan:
Hotnews Nasional