BANJARBARU – Kasus pembunuhan terhadap Zahra Dila (20), mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), memasuki fase penegakan etik yang menentukan. Kepolisian menegaskan sikap tegasnya dengan menjatuhkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) kepada Bripda Muhammad Seili (Bripda MS), anggota Polres Banjarbaru yang menjadi tersangka utama dalam perkara tersebut. Putusan itu diambil dalam Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar terbuka untuk umum di Aula Mapolres Banjarbaru, Senin (29/12/2025).
Sidang dipimpin oleh Majelis Komisi Kode Etik Propam Polri dan dihadiri sejumlah pihak terkait. Bripda MS, yang sebelumnya bertugas sebagai Banit 24 Dalmas Sat Samapta Polres Banjarbaru, hadir mengenakan seragam dinas lengkap dengan kepala dicukur. Sidang tersebut menjadi perhatian publik karena memaparkan secara detail rangkaian peristiwa yang berujung pada hilangnya nyawa seorang mahasiswi muda.
Kasus ini berawal dari penemuan mayat perempuan tanpa identitas di Jalan Sultan Adam, Banjarmasin, pada Rabu (24/12/2025). Temuan tersebut memicu penyelidikan intensif oleh Unit Opsnal Jatanras Satreskrim Polresta Banjarmasin. Dari hasil penelusuran, penyidik menemukan fakta bahwa korban terakhir kali terlihat bersama Bripda MS, yang kemudian mengarah pada pengungkapan identitas korban sebagai Zahra Dila.
Dalam proses pemeriksaan, Bripda MS mengakui perbuatannya. Ia menyatakan telah menghabisi nyawa korban di dalam mobil Toyota Rush miliknya dengan cara mencekik leher Zahra hingga tewas, setelah keduanya melakukan hubungan layaknya suami istri di dalam kendaraan. Pengakuan tersebut menjadi bagian penting dalam pembuktian perkara, baik dalam ranah etik maupun pidana.
Tak hanya melakukan pembunuhan, Bripda MS juga terbukti berupaya mengaburkan jejak kejahatan. Ia mengambil perhiasan dan telepon genggam milik korban untuk membangun skenario seolah-olah Zahra menjadi korban perampokan. Bahkan, pelaku sempat mengirim pesan ke grup WhatsApp menggunakan ponsel korban agar teman-teman Zahra mengira korban masih hidup, sebelum akhirnya membuang ponsel tersebut untuk menghilangkan jejak digital.
Dalam persidangan etik, penuntut IPTU Hendri menegaskan bahwa perbuatan Bripda MS merupakan pelanggaran berat yang tidak dapat ditoleransi oleh institusi Polri.
“Terduga pelanggar terbukti melanggar Pasal 13 PP RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri serta sejumlah pasal dalam Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri,” tegas Hendri.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Komisi Kode Etik Polri memutuskan menjatuhkan sanksi PTDH kepada Bripda MS. Putusan itu diumumkan secara terbuka sebagai bentuk komitmen transparansi Polri kepada masyarakat.
“Hasil sidang hari ini kami laksanakan secara transparan dan putusannya telah disaksikan bersama, yaitu pemberhentian dengan tidak hormat,” ujar pihak Propam usai sidang.
Pihak Propam juga menegaskan bahwa sanksi etik tidak menghentikan proses hukum pidana yang sedang berjalan.
“Dengan putusan hari ini, yang bersangkutan sudah bukan lagi anggota Polri. Selanjutnya akan diproses melalui peradilan umum, baik pidana maupun administrasi,” pungkasnya.
Dengan berakhirnya proses etik ini, kasus pembunuhan Zahra Dila kini sepenuhnya memasuki jalur peradilan pidana. Kepolisian menegaskan bahwa penegakan hukum akan dilakukan secara objektif dan profesional, sekaligus menjadi pengingat bahwa setiap anggota Polri terikat pada hukum dan kode etik tanpa pengecualian. []
Diyan Febriana Citra.

