Stop Kiriman BBM Bersubsidi

Stop Kiriman BBM Bersubsidi

Ulah pengetap di PPU benar-benar bikin gerah. Dikuasai preman dan membuat susah masyarakat, Pemkab PPU mendesak pengiriman bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ke kabupaten itu dihentikan.

Wabup PPU Mustaqim MZ menegaskan, telah mengirim surat kepada Badan Pengatur (BP) Hilir Migas agar tidak lagi BBM bersubsidi. Hal itu diungkapkan ketika membuka pelatihan Forum Konsultasi Daerah Penghasil Migas ke-9 di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut Mustaqim, BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan agen premium, minyak, dan solar (APMS) terkesan telah dikuasai pengetap. “Mereka membeli BBM di APMS dan SPBU dengan harga subsidi kemudian dijual eceran di kios-kios dengan harga tinggi,” tegas Mustaqim di depan peserta forum.

Dijelaskan, sebutan pengetap ialah mobil tertentu dengan tangki modifikasi dan mengambil BBM bersubsidi. Bukan hanya tangki modifikasi, di belakang mobil dilengkapi drum atau penampung.

Antrean pun mengular di SPBU dan APMS. Masyarakat yang ingin mendapatkan BBM secara normal menjadi enggan datang. Tak jarang, warga diusir oknum komunitas pengetap. Ketidakstabilan harga BBM pun berlaku di PPU.

“Keberadaan mereka seperti preman. Daerah kami seolah dikuasai preman,” kesal Wabup. Dia mengaku, sudah berkali-kali memanggil perwakilan mereka untuk membuat kesepakatan harga BBM di tingkat eceran. Disepakati harga eceran tertinggi (HET) premium Rp 6.000 per liter namun terus merangkak hingga mencapai Rp9.000 dan Rp 10.000 per liter.

“Boleh-boleh saja mencari penghasilan lebih, namun tidak sepantasnya BBM bersubsidi yang seharusnya dinikmati bersama malah dikuasai sekelompok orang,” ucap Mustaqim.

Lagi pula, sambung dia, pemerintah telah memberikan subsidi BBM di dalam APBN per tahun mencapai Rp 300 triliun. “Sayang sekali jika tidak tepat sasaran. Ini menjadi persoalan yang berkepanjangan. Bukan nilai kecil karena masyarakat membeli bensin Rp 10 ribu per liter di kabupaten kami. Jika demikian, mending beli pertamax,” lanjut dia.

Di samping persoalan hilir migas, Wabup menyinggung masalah hulu. Dia meminta ada perubahan pola perhitungan harga ideal migas. Daerah hendaknya dilibatkan sehingga tidak terjadi angka yang muncul tiba-tiba.

Dikatakan, dalam salah satu forum isu serupa, narasumber mengatakan angka perhitungan hasil migas tak bisa dibuka. “Kendati demikian, saya berharap ada sedikit perbedaan antara daerah penghasil dan bukan penghasil.

Umpamanya perusahaan, harus ada perbedaan antara karyawan produktif dan tidak produktif. Masak menerima gaji sama. Ini tidak adil,” tegasnya. Kaltim sebagai penghasil migas terbesar tidak menutup kemungkinan mengalami kecemburuan sosial. [] RedFj/KP

Serba-Serbi