SAMARINDA – Pemerintah Kota Samarinda akhirnya merampungkan uji laboratorium terhadap bahan bakar minyak (BBM) yang diduga menyebabkan kerusakan pada sejumlah kendaraan warga. Penelitian ini melibatkan tim ahli dari empat lembaga kredibel, termasuk peneliti dari Politeknik Negeri Samarinda (Polnes), dan hasilnya menyatakan bahwa BBM tersebut terbukti mengandung zat kimia berbahaya yang melebihi ambang batas.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Senin, 5 Mei 2025, Penanggung Jawab sekaligus Ketua Tim Kajian Akademis Uji Kualitas BBM, Alwathan, menjelaskan bahwa pihaknya mengambil tiga sampel dari kendaraan yang mengalami gangguan pasca-pengisian BBM. Dari ketiga sampel tersebut, satu dengan nilai RON (Research Octane Number) tertinggi yakni 92,6 menjadi fokus pengujian lebih lanjut.
“Sampel tersebut kami uji berdasarkan empat parameter. Hasilnya tidak sesuai dengan standar mutu Pertamax yang berlaku,” terang Alwathan.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pengujian menggunakan metode Inductively Coupled Plasma Optical Emission Spectrometry (ICP-OES) menemukan kandungan timbal mencapai 66 ppm dalam sampel tersebut. Menurutnya, walaupun timbal dahulu digunakan sebagai katalis dalam BBM, penggunaannya saat ini telah dilarang karena berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan.
“Bahan bakar yang kami uji mengandung timbal, padahal senyawa ini sudah dilarang penggunaannya dan seharusnya diganti dengan zat aditif yang lebih ramah lingkungan,” ujar Alwathan.
Selain timbal, hasil laboratorium juga mencatat kandungan air sebesar 742 ppm, total aromatik sebesar 51,16 persen volume/volume (v/v), dan kandungan benzen sebesar 8,38 persen v/v. Kandungan tersebut tidak hanya di luar batas standar, tetapi juga berpotensi merusak komponen mesin kendaraan.
“Dalam kadar yang tepat, beberapa zat memang dapat berguna. Namun bila kadarnya berlebihan, tanpa keberadaan antioksidan yang memadai, zat-zat ini akan teroksidasi dan membentuk senyawa kompleks yang bersifat racun,” jelasnya.
Tim peneliti menyimpulkan bahwa pencemaran tersebut menjadi penyebab utama kerusakan pada kendaraan konsumen yang terdampak. Mereka menegaskan bahwa kerusakan tidak berasal dari material tangki bahan bakar kendaraan karena tidak ditemukan unsur timbal pada tangki yang diperiksa, baik yang terbuat dari plastik maupun baja nirkarat.
Alwathan juga mengidentifikasi sejumlah faktor yang dapat mempercepat kerusakan mutu BBM, antara lain: penyimpanan dalam jangka waktu lama, paparan cahaya matahari langsung atau tidak langsung, kontaminasi oleh kelembaban atau logam, sistem ventilasi penyimpanan yang buruk, serta penambahan zat aditif yang dilakukan secara tidak terukur.[]
Putri Aulia Maharani