JAKARTA – Di tengah kontroversi putusan lepas terhadap sejumlah perusahaan raksasa dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO), Kejaksaan Agung mengumumkan langkah signifikan dengan menyita dana senilai Rp 11,8 triliun yang dikembalikan oleh lima terdakwa korporasi di bawah Wilmar Group. Dana tersebut dinilai sebagai bentuk pengembalian kerugian negara akibat kebijakan ekspor yang bermasalah.
“Bahwa dalam perkembangan lima terdakwa korporasi tersebut mengembalikan uang kerugian negara yang ditimbulkannya, yaitu Rp 11.880.351.802.619,” ujar Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno, dalam konferensi pers di Gedung Bundar Jampidsus, Kejaksaan Agung, Selasa (17/06/2025).
Dana dalam jumlah fantastis itu langsung disita dan dimasukkan ke rekening penampungan Jampidsus sebagai barang bukti. Penghitungan nilai kerugian dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan akan digunakan sebagai dokumen pendukung dalam proses kasasi yang saat ini tengah diajukan ke Mahkamah Agung.
Sebelumnya, tiga korporasi besar PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group sempat dibebaskan dari segala tuntutan oleh majelis hakim pada Maret 2025. Hakim menyatakan bahwa meskipun perbuatan yang dilakukan para terdakwa sesuai dengan dakwaan jaksa, tindakan tersebut tidak dikategorikan sebagai tindak pidana (ontslag van alle rechtsvervolging).
Meski demikian, Kejaksaan tetap mengajukan upaya hukum lanjutan, dengan mendasarkan pada Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tipikor, serta Pasal 55 KUHP, yang menegaskan adanya keterlibatan aktif dalam kerugian negara.
Dalam keterangan resminya, Kejaksaan juga menjabarkan rincian tuntutan terhadap masing-masing korporasi. PT Wilmar Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 11,8 triliun. Jika tidak dibayarkan, aset Direktur Wilmar, Tenang Parulian, akan disita dan dilelang. Bila tidak mencukupi, Tenang dapat dijatuhi pidana penjara hingga 19 tahun.
Begitu pula dengan Permata Hijau Group dan Musim Mas Group yang masing-masing dikenai tuntutan pengembalian dana negara sebesar Rp 937 miliar dan Rp 4,89 triliun. Aset pimpinan utama dari kedua korporasi akan disita jika pengembalian tidak dilakukan, dan dapat berujung hukuman penjara hingga 15 tahun.
Pengembalian uang tersebut menjadi catatan penting dalam penegakan hukum kasus korupsi korporasi di Indonesia. Meski putusan lepas sempat memicu kritik publik, langkah Kejaksaan menunjukkan bahwa proses hukum belum usai dan negara tetap berupaya memulihkan kerugian dari sektor yang strategis seperti industri sawit. []
Diyan Febriana Citra.