UU Produk Halal Digugat, Advokat Minta Hanya Berlaku untuk Muslim

UU Produk Halal Digugat, Advokat Minta Hanya Berlaku untuk Muslim

JAKARTA – Isu tentang keterkaitan antara hukum dan agama kembali mencuat ke ruang publik setelah seorang advokat bernama Fransiska Jeane mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menggugat sebagian ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, dengan alasan ketentuan tersebut dinilai melanggar prinsip netralitas negara dalam beragama.

Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 96/PUU-XXIII/2025 ini mulai disidangkan pada Kamis (19/06/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Dalam argumennya, Jeane mempersoalkan kewajiban sertifikasi halal yang diberlakukan menyeluruh untuk semua produk, terlepas dari agama produsen maupun konsumen.

“Negara Indonesia adalah negara beragama, bukan negara agama. Oleh karena itu, hukum di Indonesia seharusnya berdasar pada prinsip-prinsip umum yang berlaku untuk semua warga negara, bukan pada ajaran agama tertentu,” kata Jeane saat menyampaikan pokok permohonannya.

Menurutnya, Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 4 UU JPH mengandung pemaksaan ajaran agama tertentu terhadap warga negara yang menganut agama lain. Pasal tersebut mendefinisikan produk halal berdasarkan syariat Islam dan mewajibkan semua produk yang beredar di Indonesia untuk memiliki sertifikasi halal.

“UU JPH ini diberlakukan secara menyeluruh terhadap semua warga negara, padahal ia berbasis syariat Islam. Ini melanggar kesetaraan di hadapan hukum dan prinsip kebebasan beragama,” tegasnya.

Dalam permohonannya, Jeane juga menyoroti dampak nyata dari implementasi UU JPH terhadap pelaku usaha non-Muslim. Ia merujuk pada kasus pembatalan festival kuliner non-halal di sebuah pusat perbelanjaan di Solo dan penggerebekan kedai makanan non-halal di Lubuklinggau.

Ia berpendapat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan tekanan sosial dan hukum yang timbul akibat penerapan sertifikasi halal secara menyeluruh. Jeane pun meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa “wajib” dalam Pasal 4 dan Pasal 26 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945.

Ia mengusulkan agar kewajiban sertifikasi halal hanya diberlakukan secara terbatas untuk produk yang secara eksplisit ditujukan kepada konsumen Muslim, sehingga pelaku usaha non-Muslim tidak terkena beban hukum yang bersifat sektarian.

Meski perkara ini masih dalam tahap awal, gugatan tersebut memantik diskusi luas di masyarakat mengenai batas antara kebijakan negara dan norma agama, serta pentingnya menjaga prinsip inklusivitas dalam sistem hukum nasional yang plural. []

Diyan Febriana Citra.

Hotnews Nasional