Bocornya Rekaman Telepon Bikin Gempar Thailand, PM Terdesak

Bocornya Rekaman Telepon Bikin Gempar Thailand, PM Terdesak

JAKARTA – Pemerintahan Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, tengah menghadapi krisis serius setelah rekaman percakapan pribadinya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, bocor ke publik. Rekaman berdurasi hampir 17 menit yang beredar sejak 15 Juni 2025 itu memperdengarkan Paetongtarn menyebut Hun Sen dengan sapaan akrab “uncle” sembari mengeluhkan salah satu komandan militer senior Thailand yang ia anggap berasal dari “pihak lawan”.

Meskipun secara kasatmata percakapan tersebut terdengar sebagai dialog santai antarpemimpin regional, sejumlah pengamat menilai isinya menyinggung sensitivitas politik dalam negeri. Dalam konteks Thailand, militer dan institusi kerajaan memiliki peran dominan dalam lanskap kekuasaan. Oleh karena itu, kritik terhadap petinggi militer, terlebih dari seorang perdana menteri aktif, dianggap sebagai pelanggaran terhadap batas politik yang tak tertulis.

Dampak dari bocoran ini langsung terasa di tubuh parlemen. Pada 19 Juni malam, Partai Bhumjaithai—mitra koalisi terbesar ketiga dalam pemerintahan—secara resmi menyatakan keluar dari koalisi, dengan menyebut isi rekaman sebagai alasan utama. Keputusan tersebut menjadikan Partai Pheu Thai yang dipimpin Paetongtarn kehilangan mayoritas di parlemen beranggotakan 495 kursi. Sejumlah partai koalisi lain pun dilaporkan tengah mempertimbangkan langkah serupa.

Di tengah gejolak tersebut, kubu oposisi yang kini dikomandoi oleh Partai Rakyat—kelanjutan dari Move Forward—menuntut agar parlemen segera dibubarkan dan pemilu ulang diselenggarakan. Sementara itu, Paetongtarn menggelar konferensi pers pada 20 Juni 2025 untuk menyampaikan permintaan maaf. Ia menegaskan bahwa percakapan itu merupakan komunikasi pribadi melalui telepon seluler miliknya dan tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi publik.

Namun, permohonan maaf itu dinilai datang terlambat. Banyak pihak menganggap tindakan Paetongtarn telah mempermalukan institusi militer yang masih menjadi poros stabilitas kekuasaan di Thailand. Situasi ini menjadi kian rumit karena pemerintahannya juga sedang menghadapi tekanan ekonomi. Salah satu program andalannya bantuan tunai langsung senilai 14 miliar dolar AS yang dijanjikan dalam kampanye 2023—dibekukan pada Mei 2025 karena kekhawatiran akan sanksi dagang dari Amerika Serikat. Kebijakan tersebut sebelumnya disebut sebagai pilar utama pemulihan ekonomi pascapandemi dan lesunya ekspor nasional.

Sebagai anak dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra—tokoh kontroversial yang diasingkan sejak kudeta 2006—Paetongtarn tak bisa lepas dari bayang-bayang politik sang ayah. Thaksin baru kembali ke Thailand pada Agustus 2023 dan sempat ditahan karena kasus korupsi, sebelum akhirnya dibebaskan bersyarat pada Februari 2024. Sejarah politik keluarga Shinawatra memang penuh gejolak. Bibi Paetongtarn, Yingluck Shinawatra, juga pernah menjabat sebagai perdana menteri pada 2011 sebelum digulingkan lewat kudeta militer pada 2014.

Kini, skandal yang menimpa Paetongtarn dilihat oleh banyak pengamat sebagai kelanjutan dari narasi panjang benturan antara keluarga Shinawatra dan kekuatan konservatif yang mengakar dalam struktur negara. Jika krisis terus memburuk, sejumlah skenario terbuka lebar, termasuk pemakzulan atau pengunduran diri perdana menteri. Nama Anutin Charnvirakul, pimpinan Partai Bhumjaithai, disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti.

Di sisi lain, opsi pemilu dini juga mulai diperbincangkan, meski dapat menguntungkan oposisi—terutama Move Forward—yang sebelumnya menang suara terbanyak dalam Pemilu 2023, namun gagal membentuk pemerintahan karena veto dari senat.

Olarn Thinbangtieo, analis politik dari Universitas Burapha, menilai bahwa skenario paling realistis adalah memaksa Paetongtarn mundur tanpa pembubaran parlemen. Langkah ini diyakini bisa meredam ketegangan sekaligus menjaga stabilitas di tengah situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya. Namun jika dinamika terus berkembang tanpa penyelesaian, perjalanan politik keluarga Shinawatra bisa saja berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan.

Dalam sejarah modern Thailand, lengsernya kepala pemerintahan melalui jalur non-demokratis bukanlah hal baru. Krisis kali ini menunjukkan bahwa sistem politik negara tersebut masih sangat rentan terhadap intervensi kekuatan non-sipil—dan siapa pun yang duduk di kursi perdana menteri, tetap harus berhati-hati menjaga keseimbangan kekuasaan yang rapuh itu.[]

Putri Aulia Maharani

Internasional