JAKARTA – Kunjungan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, ke kediaman keluarga eks Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Senin (23/06/2025), membawa pesan moral yang melampaui sekat politik. Seraya ditemani Ketua DPR RI, Puan Maharani, Megawati hadir untuk merayakan ulang tahun ke-100 Meriyati Roeslani, istri almarhum Jenderal Hoegeng.
Kedatangan petinggi PDIP disambut khidmat oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan perwakilan keluarga Hoegeng, termasuk Krisnadi Ramajaya Hoegeng.
“Sebentar. Saya ada membawa hadiah,” ujar Megawati kepada awak media sembari membawa selimut abu-abu sebagai simbol kepedulian dan penghormatan. Pernyataan ini termuat dalam siaran pers.
Momen kebersamaan semakin hangat saat Megawati mencium kening Meriyati dan menyuapi potongan tumpeng. Foto kenangan pun diabadikan bersama Megawati, Puan, dan Meriyati sambil memegang buku berjudul “Meriyati Hoegeng, 100 Tahun Langkah Pengabdian”. Aksi sederhana itu mencerminkan keselarasan nilai antar generasi dan institusi.
Acara dilanjutkan dengan penyanyian lagu nostalgia: “Jumpa Lagi” dari Andi Mariam Matalatta dan “Congratulations” karya Cliff Richard. Kehadiran beberapa tokoh perempuan PDIP seperti Tri Rismaharini, Bintang Puspayoga, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani, Ribka Tjiptaning, dan Sri Rahayu menambahkan nuansa kekeluargaan perempuan pemimpin, mengawinkan legacy kepemimpinan di balik layar politik.
Jenderal Hoegeng, yang menjabat sebagai Kapolri pada 1968–1971, dikenang sebagai simbol kesederhanaan dan integritas. Sentuhan emosional Megawati dan Puan bukan hanya sekadar acara sosial, tetapi juga penghormatan terhadap nilai moral dan dedikasi yang pernah diwariskan Hoegeng. Melalui gesture tersebut, publik diingatkan kembali akan sosok polisi teladan yang mampu menjaga kehormatan institusi tanpa pamrih.
Aksi ini juga merefleksikan harmoni antar institusi legislatif, eksekutif, dan kepolisian yang tidak selalu bermuatan politik. Sebaliknya, momen ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap figur teladan bisa menjadi jembatan nilai di tengah dinamika sosial-politik.
Sejauh ini, peristiwa tersebut menuai respons positif. Warga berharap bahwa acara seperti ini tidak hanya menjadi rutinitas seremonial, tetapi juga menjadi momentum membangun citra moral dan etika publik. Penegasan akan nilai kejujuran, pelayanan tulus, dan penghargaan kepada tempat-tempat bersejarah menjadi bagian dari rekayasa sosial yang dibutuhkan masyarakat. []
Diyan Febriana Citra.