JAKARTA — Malam 1 Suro, yang menandai pergantian tahun baru dalam penanggalan Jawa dan bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah, masih diyakini sebagai malam sakral oleh sebagian masyarakat. Tradisi ini sarat dengan muatan spiritual dan berbagai mitos yang berkembang secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam budaya Jawa, malam 1 Suro tidak hanya dianggap sebagai momen kontemplatif untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga diyakini memiliki potensi metafisik tertentu. Oleh karena itu, banyak masyarakat memilih untuk menyepi, melakukan tirakat, atau menghindari kegiatan duniawi pada malam tersebut.
Salah satu mitos yang masih kuat diyakini adalah larangan menggelar pesta atau hajatan pada malam 1 Suro. Masyarakat percaya bahwa energi gaib sedang aktif pada waktu tersebut, sehingga acara besar seperti pernikahan atau syukuran dapat mendatangkan malapetaka.
Selain itu, larangan keluar rumah pada malam hari, terutama selepas Magrib, juga menjadi kepercayaan umum. Banyak yang meyakini bahwa makhluk halus berkeliaran pada waktu tersebut dan dapat mengganggu manusia yang tidak waspada.
Pidah rumah, memulai pembangunan, atau bepergian jauh juga termasuk dalam daftar pantangan. Menurut kepercayaan, kegiatan besar pada malam ini bisa membawa sial atau mengundang rezeki yang tidak lancar.
Ucapan buruk juga menjadi perhatian. Masyarakat Jawa diingatkan untuk menjaga lisan, karena malam 1 Suro dipercaya sebagai waktu di mana kata-kata memiliki kekuatan lebih besar dari biasanya. Tirakat dalam bentuk tapa bisu atau zikir menjadi salah satu cara masyarakat menjaga kesakralan malam tersebut.
Mitos yang tak kalah populer adalah keyakinan akan turunnya Nyi Roro Kidul, penguasa Pantai Selatan, ke daratan. Dalam konteks ini, warga dihimbau untuk tidak berdandan mencolok atau bersikap sembrono.
Meski bersifat mitologis, kepercayaan ini mengandung pesan moral yang kuat—yaitu pentingnya menjaga sikap, kehati-hatian, dan penghormatan terhadap waktu-waktu yang dianggap suci.
Sebaliknya, Malam 1 Suro juga dilihat sebagai waktu terbaik untuk penyucian diri dan introspeksi. Prosesi kirab pusaka di lingkungan keraton hingga praktik mandi kembang oleh masyarakat umum menjadi bagian dari ritual yang dilaksanakan sebagai bentuk spiritualitas dan penghormatan kepada tradisi leluhur.
Dalam konteks keislaman, 1 Muharam sebagai awal tahun Hijriah dianjurkan untuk diisi dengan doa, zikir, dan amalan sunah lainnya, selaras dengan makna reflektif dalam tradisi Jawa. Meski terdapat perbedaan makna dan praktik, keduanya sama-sama mengedepankan nilai spiritualitas dan perenungan diri.[]
Putri Aulia Maharani