JAKARTA – Penetapan tarif angkutan barang di Indonesia hingga kini masih mengandalkan mekanisme pasar yang belum memiliki payung regulasi tegas. Sistem ini menyebabkan ketimpangan, khususnya dalam praktik muatan berlebih yang kerap dilakukan oleh pelaku usaha logistik demi efisiensi biaya dan peningkatan keuntungan.
Menurut pengamat transportasi, saat ini terdapat tiga pola umum yang digunakan sebagai dasar penentuan tarif angkutan barang. Pertama, tarif dihitung berdasarkan jumlah perjalanan; kedua, berdasarkan berat barang yang diangkut; dan ketiga, mengacu pada volume barang.
Meski terlihat fleksibel, pola tarif berdasarkan berat dan volume kerap mendorong operator angkutan untuk membawa muatan berlebih. Dalam praktiknya, ini dilakukan guna mengoptimalkan biaya pengangkutan yang relatif tinggi, terutama pada rute jauh atau medan sulit. Namun konsekuensinya tak sedikit.
“Jika tarif dihitung dari berat atau volume barang, maka risiko kelebihan muatan sangat tinggi. Ini lazim ditemukan pada kendaraan angkut besar yang membawa barang dalam jumlah massif,” jelas Aan, pengamat sektor transportasi dan logistik.
Kondisi ini telah lama menjadi sorotan karena berdampak negatif terhadap banyak aspek, mulai dari kerusakan infrastruktur jalan, meningkatnya potensi kecelakaan lalu lintas, hingga membahayakan keselamatan pengemudi itu sendiri. Jalan nasional dan provinsi yang rusak akibat truk bermuatan berlebih bukan lagi pemandangan langka.
Lebih dari itu, beban yang melebihi kapasitas teknis kendaraan juga memperpendek umur pakai armada dan meningkatkan emisi gas buang, sehingga berdampak buruk terhadap lingkungan. Sementara itu, di sisi sopir, tekanan kerja semakin berat karena harus menanggung risiko kerusakan kendaraan maupun sanksi hukum apabila terjadi pelanggaran.
Untuk itu, para pakar mendesak pemerintah agar segera menyusun regulasi tarif angkutan barang yang lebih adil dan rasional. Penetapan tarif minimum dan maksimum secara nasional, disertai pengawasan ketat terhadap standar keselamatan dan kapasitas kendaraan, dinilai sebagai langkah krusial untuk membenahi ekosistem logistik nasional.
Langkah ini juga perlu diiringi dengan edukasi kepada pelaku usaha angkutan dan penguatan peran Kementerian Perhubungan serta aparat kepolisian dalam menegakkan aturan terkait dimensi dan beban kendaraan (ODOL – Over Dimension and Over Load). Tanpa penataan yang komprehensif, maka persoalan kelebihan muatan akan terus menjadi lingkaran masalah yang merugikan semua pihak.[]
Putri Aulia Maharani