JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperluas penelusuran dalam penyidikan kasus dugaan pemerasan dalam proses pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Terbaru, pada Selasa (08/07/2025), KPK menyita sejumlah aset milik para tersangka yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi.
Dalam pernyataannya, Rabu (09/07/2025), Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan bahwa lembaganya telah menyita berbagai aset bernilai miliaran rupiah.
“Pada hari ini juga dilakukan penyitaan atas aset dari para tersangka pada perkara pemerasan di Kemenaker, yaitu 2 unit rumah senilai kurang lebih Rp 1,5 miliar, 4 unit kontrakan dan kos-kosan senilai kurang lebih Rp 3 miliar,” kata Budi.
Tak hanya properti berupa rumah dan tempat usaha, KPK juga menyita empat bidang tanah yang ditaksir bernilai sekitar Rp 2 miliar, serta uang tunai sebesar Rp 100 juta. Lokasi aset tersebut tersebar di wilayah Depok dan Bekasi.
“Empat bidang tanah yang ditaksir saat ini harganya senilai Rp 2 miliar, dan uang sebesar Rp 100 juta. Tanah dan bangunan tersebut tersebar di Depok dan Bekasi,” ujarnya menambahkan.
Penyitaan ini merupakan bagian dari upaya KPK untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat praktik pemerasan dalam proses perizinan tenaga kerja asing. Tindakan ini juga menjadi bagian dari strategi menyeluruh pemberantasan korupsi melalui pendekatan asset recovery.
Dalam kasus ini, delapan orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka merupakan pejabat dan staf di lingkungan Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kemenaker. Para tersangka adalah Suhartono (eks Dirjen), Haryanto (Dirjen aktif), Wisnu Pramono, Devi Angraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut Budi, para tersangka diduga telah menerima total uang hasil pemerasan mencapai Rp 53,7 miliar dari para pemohon izin RPTKA selama kurun waktu 2019 hingga 2024. Rinciannya, antara lain: Haryanto Rp 18 miliar, Putri Citra Wahyoe Rp 13,9 miliar, Gatot Widiartono Rp 6,3 miliar, dan lainnya dengan nominal berbeda.
Modus operandi yang digunakan para tersangka diduga melibatkan penyalahgunaan wewenang, dengan menekan pemohon izin agar menyetor sejumlah uang sebagai syarat memperlancar proses perizinan. Kasus ini mengungkap kerentanan sistem layanan publik terhadap penyimpangan apabila tidak dibarengi dengan pengawasan ketat dan sistem transparansi yang kuat.
KPK menegaskan komitmennya untuk terus menelusuri aliran dana dan memproses hukum seluruh pihak yang terlibat. Penindakan ini diharapkan dapat memperkuat efek jera serta memperbaiki tata kelola perizinan di sektor ketenagakerjaan yang menjadi salah satu gerbang masuk investasi tenaga kerja asing. []
Diyan Febriana Citra.