Tuntutan Mati untuk Pembunuh Penjual Gorengan

Tuntutan Mati untuk Pembunuh Penjual Gorengan

PARIAMAN – Persidangan kasus pembunuhan tragis terhadap Nia Kurnia Sari (NKS), seorang gadis penjual gorengan di Kecamatan 2×11 Kayu Tanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat, memasuki babak krusial. Pada Selasa siang (08/07/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyampaikan tuntutan pidana mati terhadap terdakwa Indra Septriaman alias In Dragon, di Pengadilan Negeri Pariaman.

“Kami mengajukan tuntutan pidana mati terhadap terdakwa,” ujar Ketua Tim JPU, Bagus Priyonggo. Jaksa menilai terdakwa telah melakukan perbuatan yang tergolong sangat keji dan tidak berperikemanusiaan. Selain itu, terdakwa diketahui sebagai residivis atas beberapa kasus kriminal berat.

Diketahui, terdakwa sebelumnya pernah divonis dalam perkara narkotika, tindak asusila, hingga pencurian. Riwayat hukum ini memperkuat dasar jaksa dalam mengajukan tuntutan maksimal. “Karena itu kami melakukan tuntutan maksimal,” tegas Bagus.

Meski begitu, jaksa tetap menyerahkan keputusan akhir kepada majelis hakim. “Kami berharap tuntutan ini dikabulkan, tetapi keputusan tetap di tangan majelis karena mereka memiliki pertimbangan hukum sendiri,” lanjutnya.

Namun, pihak pembela terdakwa menolak keras tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa. Kuasa hukum Indra, Dafriyon, menyatakan bahwa sejak awal proses persidangan tidak ditemukan unsur pembunuhan berencana dalam kasus ini.

“Yang ada itu menurut ahli forensik, yang ada itu hanya penganiayaan. Karena ada memar di tubuhnya si Nia,” kata Dafriyon. Ia mengutip hasil pemeriksaan ahli forensik yang menyatakan bahwa kematian korban tidak disebabkan oleh jeratan tali, tetapi akibat tekanan kuat di bagian dada.

Menurutnya, jaksa seharusnya berfokus pada pembuktian objektif, bukan sekadar menuntut berat. “Fungsi dari jaksa bukan untuk menghukum, tetapi menghadirkan seluruh bukti dan fakta di depan persidangan,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa jika fakta-fakta pembunuhan berencana tidak ditemukan dalam proses hukum, maka tuduhan menjadi kabur dan tidak berdasar. “Jika seandainya bukti dan fakta di persidangan itu tidak ada, berarti kabur,” ucapnya.

Kini, nasib hukum terdakwa berada di tangan majelis hakim yang dalam waktu dekat akan membacakan putusan. Kasus ini menarik perhatian publik karena menyangkut tuntutan hukuman tertinggi di Indonesia, yakni pidana mati, serta karena melibatkan korban dari kalangan masyarakat kecil. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews