Rapat di Luar Kota, DPRD Sumenep Dikritik Boros Anggaran

Rapat di Luar Kota, DPRD Sumenep Dikritik Boros Anggaran

SUMENEP – Keputusan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumenep, Jawa Timur, untuk menggelar rapat pembahasan perubahan APBD 2025 di luar daerah kembali mengundang kritik. Rapat tersebut berlangsung di sebuah hotel di Kota Yogyakarta pada 11-13 Juli 2025 dan ditandatangani langsung oleh Ketua DPRD Sumenep, Zainal Arifin, yang juga merupakan politikus PDI Perjuangan.

Pemilihan lokasi di luar kabupaten dinilai bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran publik, apalagi kegiatan serupa dapat dilakukan di Gedung DPRD Sumenep yang dibangun dengan anggaran lebih dari Rp100 miliar. Kritikan ini disampaikan oleh akademisi Universitas Wiraraja Madura, Mohammad Hidayaturrahman.

“Ketua DPRD Sumenep seperti tidak ingin mengikuti instruksi presiden soal efisiensi anggaran,” ujar Hidayaturrahman, Kamis (10/07/2025).

Ia menilai bahwa penggunaan gedung baru yang megah untuk rapat seharusnya menjadi prioritas ketimbang menggelar rapat di luar kota yang membutuhkan biaya tambahan untuk transportasi, akomodasi, serta konsumsi.

Lebih jauh, Hidayaturrahman menyinggung bahwa kegiatan ini mencerminkan ketidaksensitifan para wakil rakyat terhadap kondisi fiskal daerah.

“Kalau boleh saya bilang, ini kategori pemborosan. Gedung megah tidak digunakan, malah memilih tempat lain dengan biaya besar,” ujarnya.

Selain itu, keputusan tersebut juga dianggap melewatkan kesempatan untuk menggerakkan perekonomian lokal. Rapat di luar kota berarti tidak melibatkan pelaku UMKM setempat dalam penyediaan konsumsi maupun kebutuhan logistik.

“Ketika pemerintah kabupaten mendorong pemberdayaan UMKM, DPRD justru memberi contoh sebaliknya,” lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Sumenep, Virzannida Busyro Karim, menyatakan bahwa kegiatan tersebut tidak melanggar aturan yang berlaku. “Yang saya ketahui, tidak ada aturan yang dilanggar dari kegiatan tersebut,” katanya.

Namun demikian, publik menilai bahwa substansi persoalan bukan semata soal pelanggaran aturan formal, melainkan soal etika penggunaan anggaran publik dan kepatuhan moral terhadap semangat penghematan yang ditekankan pemerintah pusat.

Situasi ini menambah daftar panjang kritik terhadap perilaku belanja wakil rakyat di banyak daerah yang kerap dianggap tidak sejalan dengan kondisi nyata di lapangan, terutama dalam konteks upaya pemulihan ekonomi dan pengendalian belanja daerah. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews