DENPASAR – Pulau Bali yang selama ini dikenal sebagai destinasi tropis kelas dunia, kembali menjadi sorotan internasional setelah sejumlah wisatawan menyuarakan kekecewaan atas pengalaman mereka. Salah satunya dialami Zoe Rae, turis yang membagikan pengalamannya melalui sebuah video YouTube pada Juli lalu.
“Sejak mendarat di Bali, ada sesuatu yang terasa tidak beres bagi kami,” ujarnya saat merekam dari kamar hotel. Rae menambahkan, “Kami datang ke Bali dengan ekspektasi tinggi karena kami melihat di media sosial semua orang bersenang-senang. Jika Anda mengambil gambar kedai kopi lalu melakukan zoom out, Anda akan melihat bagaimana realita yang sesungguhnya.”
Meski tidak menjelaskan secara rinci, pengalaman tersebut cukup membuatnya terganggu hingga memilih meninggalkan Bali dan melanjutkan perayaan ulang tahunnya di Dubai. Kisah Rae hanyalah satu dari sekian banyak keluhan yang muncul di media sosial mengenai fenomena “ekspektasi versus realita” pariwisata Bali.
Lonjakan jumlah wisatawan memang telah mengubah wajah Bali. Dari jalanan macet, antrean panjang di objek wisata, hingga sampah plastik yang menumpuk di sejumlah pantai, menjadi gambaran nyata yang kontras dengan citra “surga tropis” di media sosial. Data menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan ke Bali melonjak dari 3,8 juta pada 2014 menjadi lebih dari 6 juta pada 2024, dan tahun ini diperkirakan mencapai rekor tujuh juta pengunjung.
Sejumlah pengamat menilai media sosial memiliki peran besar dalam membentuk persepsi turis. “Sejak media sosial mengambil alih, ini adalah cara yang sangat superfisial dalam memahami suatu tempat… Anda hanya melihat sebuah foto, lalu Anda pergi ke sana,” kata Gisela Williams, penulis perjalanan asal Berlin.
Namun, di balik keluhan wisatawan, penduduk lokal menyuarakan perspektif yang berbeda. “Ketika turis mengatakan mereka kecewa karena Bali semakin ramai, mereka juga bagian dari keramaian itu,” ujar peneliti Bali, I Made Vikannanda. Senada dengan itu, Ni Kadek Sintya, warga Canggu, mengenang perubahan drastis di daerahnya.
“Sekarang setiap kali saya melewati tempat yang dulu saya duduki, ada perasaan sedih ini. Saya merasa bahwa Bali terkikis hari demi hari,” tuturnya.
Meski demikian, harapan masih ada. Upaya dari komunitas lokal, pelaku usaha, hingga regulasi pemerintah untuk mendorong pariwisata berkelanjutan terus digalakkan. Mulai dari pelarangan plastik sekali pakai hingga kampanye kebersihan pantai menjadi langkah awal dalam menjaga keseimbangan antara alam, budaya, dan pariwisata.
Maria Shollenbarger, editor perjalanan majalah How To Spend It, menilai Bali kini menjadi “titik didih overtourism” yang membutuhkan perhatian serius. Ia menegaskan, “Merupakan tanggung jawab Anda, sang pelancong, untuk berinteraksi secara bertanggung jawab dengan destinasi tersebut.” []
Putri Aulia Maharani