MUAROJAMBI — Sidang putusan atas kasus kematian tragis Ragil Alfarizi (20), yang terjadi di dalam sel tahanan Polsek Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, akhirnya memberikan secercah keadilan bagi keluarga korban. Pada Jumat (25/07/2025), Pengadilan Negeri Muaro Jambi menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepada Bripka Yuyun Sanjaya bin Sudarjo, anggota polisi yang dinyatakan bersalah dalam perkara pembunuhan tersebut.
Putusan tersebut dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim Roro Endang Dewi Nugraheni, didampingi dua hakim anggota, Syara Fitriani dan Andi Setiawan. Vonis ini sekaligus sejalan dengan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Muaro Jambi.
“Sesuai fakta di persidangan, maka JPU menuntut 15 tahun penjara,” ungkap Anger, Kepala Seksi Intelijen Kejari Muaro Jambi, pada hari yang sama.
Amar putusan menyatakan bahwa masa penahanan terdakwa akan diperhitungkan dan dikurangkan dari total vonis yang dijatuhkan. Namun yang paling menarik perhatian publik bukan sekadar lamanya hukuman, melainkan bagaimana fakta persidangan membantah narasi awal bahwa Ragil tewas akibat bunuh diri.
Dalam proses persidangan, hasil autopsi mengungkapkan adanya tujuh luka di leher, memar parah di kepala, serta pendarahan hebat di seluruh bagian kepala. Yang paling mengejutkan, batang otak Ragil dinyatakan patah akibat benturan keras, mengindikasikan adanya kekerasan fatal sebelum korban ditemukan tergantung.
“Korban meninggal dunia terlebih dahulu sebelum ditemukan tergantung di dalam sel,” ujar majelis hakim dalam pembacaan putusan.
Kematian Ragil sebelumnya sempat diduga sebagai kasus gantung diri, namun hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan autopsi yang lebih mendalam menguak fakta lain. Dari penyelidikan Polda Jambi, Ragil diketahui dianiaya hingga tewas oleh dua anggota polisi, yakni Bripka Yuyun Sanjaya dan Brigadir Faskal Wildanu Putra bin Lukman Hamli.
Korban saat itu tengah menjalani penahanan atas dugaan pencurian. Namun, alih-alih menjalani proses hukum, ia justru menjadi korban penganiayaan yang berujung kematian.
Untuk saat ini, proses hukum terhadap Brigadir Faskal masih berjalan secara terpisah dan belum sampai pada tahap putusan. Ia didakwa atas tuduhan serupa dan dijerat pasal-pasal berat.
Kedua oknum polisi tersebut dikenakan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, subsider Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan berat, serta Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan seseorang.
Tragedi ini menjadi tamparan keras bagi institusi kepolisian, sekaligus menimbulkan desakan kuat dari masyarakat agar penegakan hukum tidak tebang pilih, terlebih bila pelaku adalah aparat sendiri. Kasus Ragil Alfarizi memperlihatkan bahwa reformasi dan pengawasan internal di tubuh kepolisian masih menjadi pekerjaan rumah besar di tengah tuntutan keadilan yang semakin lantang. []
Diyan Febriana Citra.