SEMARANG – Kasus dugaan korupsi dalam pelaksanaan Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di Desa Papringan, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Semarang, menjadi cermin lemahnya pengawasan terhadap program nasional yang dilaksanakan di tingkat desa. Kejaksaan Negeri Kabupaten Semarang menetapkan lima orang sebagai tersangka yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan dana PTSL tahun 2020, dengan total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 900 juta.
Kelima tersangka kini ditahan di dua lokasi berbeda: Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Ambarawa dan Rutan IIB Salatiga, untuk masa penahanan selama 20 hari sejak 28 Juli hingga 16 Agustus 2025. Mereka adalah ST (Kepala Desa Papringan sejak 2019 dan juga pembina panitia PTSL), BS (Ketua Panitia PTSL), SP (Bendahara), serta dua anggota panitia lainnya, SW dan YS.
Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Semarang, Ismail Fahmi, mengungkapkan bahwa terdapat pelanggaran serius dalam pengelolaan dana program tersebut. Salah satu tersangka, SW, diketahui tidak menyetorkan biaya yang diterima kepada bendahara, dengan jumlah yang diduga digunakan untuk kebutuhan pribadi mencapai Rp 85.750.000.
“Namun terdapat biaya yang tidak disetorkan oleh tersangka SW sebesar Rp 85.750.000 yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Ismail Fahmi dalam konferensi pers, Senin (28/07/2025) petang.
Sementara itu, tersangka YS juga tidak menyetorkan seluruh dana yang diterima dari SW dan tercatat meminjam uang kepada bendahara maupun anggota panitia lainnya.
“Terdapat biaya PTSL yang tidak YS setorkan sebesar Rp 59.500.000. Selain itu, YS meminjam uang kepada SP selaku Bendahara PTSL sebesar Rp 19.750.000 dan meminjam kepada anggota PTSL sebesar Rp 13.500.000,” lanjut Ismail.
Audit Inspektorat Daerah Kabupaten Semarang memperkuat dugaan bahwa pelaksanaan PTSL tahun 2020 tidak sesuai prosedur. Total biaya yang dihimpun dari masyarakat sebesar Rp 855.246.014, ditambah penerimaan dari perubahan identitas objek pajak sebesar Rp 52.150.000. Kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 907.396.014.
Peraturan Bupati Semarang Nomor 65 Tahun 2018 menetapkan bahwa biaya maksimal PTSL sebesar Rp 150.000. Namun, dalam pelaksanaannya, masyarakat Desa Papringan dikenakan pungutan hingga Rp 500.000. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan internal maupun eksternal terhadap pelaksanaan program tersebut.
Kuasa hukum kelima tersangka, Lugud Endro Susilo, menyatakan bahwa pihaknya menghormati proses hukum dan akan menyampaikan pembelaan di persidangan. “Dengan penahanan ini, kami tim hukum akan fokus pada pembelaan, termasuk di persidangan nantinya,” ucapnya.
“Terkait materi persidangan dan bagaimana persoalan PTSL di Desa Papringan ini akan kami buka nanti di persidangan, termasuk fakta hukum dan edukasi yang mendasari hingga timbulnya permasalahan,” tutup Lugud.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pelaksanaan program nasional memerlukan sistem pengawasan berlapis dan akuntabel agar tidak menjadi celah korupsi di tingkat desa. []
Diyan Febriana Citra.