Desa di Malang Gelar Karnaval Sound Horeg, Warga Diminta Mengungsi

Desa di Malang Gelar Karnaval Sound Horeg, Warga Diminta Mengungsi

MALANG – Suasana meriah menyambut pelaksanaan Karnaval Pesta Rakyat Karangjuwet Vol. 5 di Desa Donowarih, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Kamis (24/07/2025). Namun di balik semarak karnaval tersebut, muncul dinamika unik yang mencerminkan tarik-ulur antara tradisi lokal dan kenyamanan warga.

Kepala Desa Donowarih mengeluarkan surat edaran resmi yang ditujukan kepada warga tertentu untuk sementara waktu meninggalkan rumah mereka saat kegiatan berlangsung. Surat tersebut mengimbau warga yang memiliki bayi, anak-anak kecil, lansia, serta mereka yang sedang sakit, agar mengungsi sementara demi menghindari efek suara keras dari 11 unit sound horeg yang akan memeriahkan acara.

“Agar dapat menjaga jarak atau mengamankan sementara dari lokasi kegiatan demi kenyamanan bersama dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mengingat sound system yang akan digunakan cukup keras (sound horeg),” bunyi potongan isi surat edaran tersebut.

Sekretaris Desa Donowarih, Ary Widya Hartono, membenarkan kebijakan itu. Ia menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan tradisi dua tahunan dalam rangka bersih desa. Meski menggunakan sound horeg yang dikenal memiliki volume tinggi, Ary memastikan bahwa pelaksanaannya telah dikomunikasikan dengan aparat kepolisian setempat.

“Koordinasi dengan Polres Malang sudah kami lakukan. Dan pembiayaan kegiatan ini sepenuhnya dibiayai secara swadaya oleh masyarakat, bukan dari dana pemerintah,” jelas Ary dalam wawancara via sambungan telepon, Rabu (23/07/2025).

Menurut Ary, surat edaran bukan dikeluarkan karena adanya konflik atau penolakan, melainkan sebagai langkah antisipatif yang bertujuan melindungi warga yang rentan terhadap gangguan suara keras.

“Saat kami presentasi ke kepolisian, kami tegaskan bahwa surat edaran ini bentuk antisipasi dari desa. Masyarakat pun mendukung penuh kegiatan ini,” tegas Ary.

Ia juga menambahkan bahwa partisipasi masyarakat sangat tinggi. Bahkan di RT 28, terdapat warga yang ikut memeriahkan karnaval dengan menampilkan kontingen dan mobil hias. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan sound horeg bukan kewajiban, melainkan pilihan bebas dari peserta.

Menariknya, beberapa warga justru menunjukkan solidaritas dengan secara sukarela mengungsi ke rumah saudara atau tetangga demi kelancaran acara. Utamanya adalah warga yang tinggal di sepanjang jalur karnaval.

“Dari warga yang riskan, sudah mengungsi ke tempat saudara atau ke tetangga yang rumahnya tidak di tepi jalan,” ujar Ary.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana budaya lokal tetap dilestarikan, meski perlu penyesuaian agar tidak mengganggu ketenangan warga lainnya. Tradisi boleh tetap hidup, namun upaya kompromi untuk menjaga harmoni sosial menjadi kunci agar kegiatan semacam ini bisa terus berlanjut dengan damai. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews