SAMARINDA – Upaya penurunan angka stunting di Kalimantan Timur (Kaltim) masih menghadapi hambatan serius, salah satunya disebabkan oleh keterbatasan tenaga gizi yang tersedia di daerah tersebut. Kondisi ini dinilai menjadi faktor krusial yang memperlambat efektivitas berbagai program intervensi stunting yang telah dijalankan pemerintah daerah dalam tiga tahun terakhir.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur menilai persoalan kekurangan tenaga gizi tidak bisa lagi dianggap sebagai isu teknis semata. Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ananda Emira Moeis, menegaskan bahwa sumber daya manusia di bidang gizi merupakan fondasi utama dalam keberhasilan program penanganan stunting yang berkelanjutan.
“Selama rasio tenaga gizi masih timpang, jangan berharap penanganan stunting bisa bergerak cepat,” ujar Ananda, Senin (15/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa berdasarkan standar pelayanan nasional, satu wilayah dengan jumlah penduduk 100.000 jiwa idealnya ditangani oleh sedikitnya 35 tenaga gizi. Rasio tersebut diperlukan agar pemantauan tumbuh kembang anak, pemeriksaan status gizi, edukasi keluarga, hingga intervensi lanjutan dapat berjalan optimal dan merata.
Namun, realitas di Kalimantan Timur menunjukkan kesenjangan yang cukup jauh dari standar ideal tersebut. Dengan jumlah penduduk mencapai sekitar 4,05 juta jiwa pada 2024, Kaltim setidaknya membutuhkan 1.417 tenaga gizi. Faktanya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim 2024, tenaga gizi yang tersedia baru berjumlah 503 orang.
“Artinya rasionya tidak terpenuhi. Yang seharusnya 35 orang menangani 100.000 penduduk, di Kaltim hanya sekitar 13 orang. Itu pun tidak merata di semua kabupaten dan kota,” kata politisi PDI Perjuangan tersebut.
Kondisi tersebut dinilai berkontribusi langsung terhadap masih tingginya prevalensi stunting di Kaltim yang mencapai 22,2 persen pada 2024, angka yang berada di atas rata-rata nasional. Minimnya tenaga gizi menyebabkan cakupan intervensi spesifik menjadi terbatas, pendampingan keluarga berisiko tidak optimal, serta pemantauan rutin di posyandu belum berjalan maksimal.
Ananda juga menyoroti ketimpangan distribusi tenaga gizi antarwilayah. Ia menyebut sebagian besar tenaga gizi masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan, sementara daerah-daerah seperti Kutai Barat, Mahakam Ulu, dan sebagian Kutai Timur mengalami kekurangan yang cukup signifikan.
“Kondisi ini membuat banyak keluarga tidak terpantau secara rutin. Padahal stunting sering terjadi bukan hanya karena faktor ekonomi, tetapi juga kurangnya edukasi gizi dan lemahnya pendampingan,” jelasnya.
Untuk mempercepat penanganan stunting, DPRD Kaltim mendorong pemerintah provinsi mengambil langkah strategis dengan menggandeng perguruan tinggi yang memiliki program studi gizi. Menurut Ananda, kerja sama tersebut dapat menjadi solusi jangka menengah untuk memastikan ketersediaan tenaga gizi yang berkelanjutan.
Ia menyebut beberapa institusi seperti Universitas Mulawarman, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Kaltim, serta sejumlah sekolah tinggi kesehatan di Samarinda yang secara rutin meluluskan tenaga gizi berkualitas.
“Pemerintah daerah bisa membuat skema kerja sama, seperti program penempatan kerja, kontrak dua hingga tiga tahun, atau beasiswa ikatan dinas. Kita punya modal SDM dari kampus, tinggal bagaimana memanfaatkannya,” katanya.
Selain itu, DPRD Kaltim juga meminta agar pemenuhan tenaga gizi dijadikan prioritas dalam perencanaan dan penganggaran sektor kesehatan daerah. Menurut Ananda, tanpa keberpihakan anggaran pada penguatan sumber daya manusia, upaya penurunan stunting berisiko stagnan, terlebih Kalimantan Timur tengah bersiap menjadi daerah penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Kalau bicara masa depan, bicara IKN, dan bicara SDM unggul, maka persoalan gizi harus diletakkan di posisi penting. Tidak bisa lagi dianggap isu pinggiran,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa stunting bukan sekadar persoalan kesehatan, melainkan menyangkut kualitas pendidikan, produktivitas, serta daya saing generasi mendatang. Oleh karena itu, investasi pada tenaga gizi dinilai sebagai langkah fundamental yang tidak bisa ditunda.
Ananda optimistis, dengan penambahan tenaga gizi dan perluasan pendampingan hingga tingkat desa dan kelurahan, Kalimantan Timur mampu menekan angka stunting secara signifikan dalam dua hingga tiga tahun ke depan.
“Kuncinya ada pada kerja berlapis dengan tenaga yang cukup. Kalau itu bisa dipenuhi, Kaltim pasti bisa mengejar target nasional,” tuturnya. []
Diyan Febriana Citra.

