MAROS – Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, kembali menarik perhatian dunia melalui penyelenggaraan Konferensi Internasional Gau’ Maraja Leang-Leang, Jumat (04/07/2025). Acara yang berlangsung di Gedung Serbaguna Maros ini menjadi ajang penting dalam memperkuat posisi kawasan gua prasejarah Leang-Leang sebagai salah satu situs peradaban tertua umat manusia.
Konferensi tersebut dihadiri oleh berbagai tokoh penting dari kalangan arkeolog, budayawan, dan peneliti internasional yang mendalami potensi situs arkeologi dunia. Hadir membuka acara, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan orasi kebudayaan yang menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dan kolaboratif dalam merawat dan mengembangkan warisan budaya tersebut.
“Dinding gua di sini bukan sekadar batu. Ini kanvas monumental tempat manusia pertama mengekspresikan pikirannya. Lukisan figuratif berusia 51.200 tahun di Leang-Leang telah mengguncang dunia,” ujar Fadli dalam pidatonya.
Menurut Fadli, nilai Leang-Leang tak hanya sebagai peninggalan sejarah, namun sebagai ‘kapsul waktu’ yang menyimpan catatan awal ekspresi manusia. Ia menekankan bahwa pelestarian situs seperti ini membutuhkan pendekatan baru, yang tidak lagi terbatas pada konservasi fisik, melainkan juga pada reinvensi melalui teknologi dan edukasi.
Ia menawarkan tiga strategi baru reprogramming lewat film animasi 4D, redesigning dengan menjadikan gua sebagai laboratorium hidup, serta reinvigorating melalui program residensi bagi peneliti dan seniman.
“Terobosan multidisiplin ini menjembatani masa lalu dan masa depan,” tegasnya.
Tak hanya dari sisi pelestarian budaya, Fadli juga menyoroti pentingnya menjadikan warisan budaya sebagai alat pemberdayaan masyarakat. Melalui konsep green tourism, pemanfaatan teknologi edukatif, dan optimalisasi acara budaya di situs purbakala, kawasan seperti Maros dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
“Visi besar kita berdiri di atas tiga pilar: pelestarian, pemberdayaan ekonomi lokal, dan tanggung jawab ekologis,” ujar Fadli.
Ia juga mengajak semua pihak untuk menghidupkan kembali filosofi lokal Bugis: Mali’ Siparappe, Rebba Sipatokkong, sebagai dasar kolaborasi lintas sektor. Dalam semangat ini, ia mendorong pelibatan komunitas lokal, pelatihan pemandu budaya, serta membangun jejaring riset dengan BRIN dan institusi pendidikan luar negeri.
Konferensi dua hari ini juga menghadirkan sejumlah tokoh ilmiah terkemuka seperti Prof. Campbell Macknight (Australia National University), Prof. Zuliskandar Ramli (UKM), dan Dr. Stephen Druce (Universiti Brunei Darussalam) yang membahas pentingnya Maros-Pangkep sebagai pusat riset prasejarah di Asia Tenggara.
Menutup pidatonya, Fadli menekankan bahwa Leang-Leang tak hanya sebagai jendela ke masa lalu, melainkan sebagai instrumen untuk menatap masa depan yang berkelanjutan.
“Leang-Leang bukan hanya jendela masa lalu. Ia teropong canggih menuju masa depan berkelanjutan,” ujarnya.
Ia berharap generasi muda tidak hanya mewarisi kebudayaan, tetapi juga mengembangkannya melalui inovasi dan kolaborasi yang berkelanjutan. []
Diyan Febriana Citra.