PADANG – Sebuah rumah doa umat Kristen di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat, menjadi sasaran serangan kelompok warga pada Minggu (27/07/2025) sore. Insiden ini menjadi viral di media sosial setelah video penyerangan tersebar luas dan memicu keprihatinan publik akan kondisi kebebasan beragama di Indonesia.
Dalam video yang diunggah oleh akun X (dulu Twitter) @permadiaktivis2, tampak sejumlah warga membawa benda tumpul seperti kayu dan batu, bahkan senjata tajam, sembari meneriakkan “bubarkan” kepada umat Kristen yang tengah beribadah. Rumah doa tersebut diserang hingga kaca jendela pecah dan sejumlah perabotan rusak parah.
“Dan terjadi lagi, terjadi lagi, terjadi lagi. Kali ini di Padang Sarai. Ibadah minggu GKSI diserang warga intoleran, dua anak terluka,” tulis akun tersebut dalam unggahan yang dikutip pada Senin (28/07/2025).
Peristiwa itu terjadi sekitar pukul 16.00 WIB ketika puluhan anak sedang mengikuti kegiatan belajar agama Kristen. Rumah doa yang diserang tersebut menjadi tempat pembelajaran agama Kristen karena sekolah negeri di sekitar wilayah tersebut tidak menyediakan mata pelajaran tersebut.
Aksi kekerasan ini menyebabkan dua anak berusia 11 dan 9 tahun mengalami luka, diduga akibat pemukulan oleh massa. Kepanikan melanda jemaat yang berhamburan keluar sambil menangis. Netizen pun mengecam keras tindakan intoleran tersebut, serta mempertanyakan respons aparat yang dinilai lambat menangani situasi.
“Kita cuma bisa berharap polisi di Sumbar seperti di Sukabumi. Sampai ada yang terluka lho Pak,” kata Permadi dalam video komentarnya.
Permadi juga mendesak Wakil Presiden Gibran Rakabuming untuk mendorong pemerintah pusat menyusun kebijakan tegas terhadap praktik intoleransi. “Tolong @gibran_rakabuming Pak Wapres bantu lah dorong agar pemerintah pusat terbitkan aturan yang lebih tegas menindak para pelaku kristenphobia seperti ini,” ujarnya.
Kepolisian Resor Kota Padang merespons cepat kejadian tersebut. Dalam pernyataan resminya, mereka menyebut telah mengamankan sembilan orang terduga pelaku. Berdasarkan informasi awal, kejadian bermula saat perangkat RT dan lurah setempat mendatangi lokasi dan meminta kegiatan ibadah dihentikan. Namun suasana berubah ricuh dan berujung pada perusakan serta kekerasan fisik.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi negara untuk hadir menjamin perlindungan terhadap kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi. Penyerangan terhadap rumah ibadah tak hanya melukai korban secara fisik, tapi juga mencederai prinsip dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
Sejumlah lembaga hak asasi manusia dan kelompok masyarakat sipil mendesak proses hukum dilakukan secara transparan dan tegas, tanpa intervensi serta dengan memastikan rasa keadilan bagi korban. Pemerintah daerah dan pusat juga diminta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola pengawasan serta penanganan potensi intoleransi di tingkat akar rumput. []
Diyan Febriana Citra.