SANGATTA – Hutan Lindung Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur (Kutim), kembali menjadi sorotan. Ketua DPRD Kutim, Jimmi, menilai kawasan hutan adat seluas 29 ribu hektare itu terancam karena minim perhatian pemerintah, mulai dari kurangnya tenaga penjaga hingga akses jalan yang hampir putus.
Jimmi mengaku persoalan di lapangan cukup kompleks. Meski kewenangan ada di tingkat provinsi, ia menegaskan Pemkab Kutim tidak bisa lepas tangan. Menurutnya, pemerintah daerah tetap harus berperan sebagai penghubung agar perlindungan terhadap Wehea berjalan lebih maksimal.
“Tapi berhubung ini hutan di wilayah kita, maka harusnya Pemda menjadi penyambung komunikasi,” ucapnya.
Selain itu, Jimmi menyoroti pembagian dana karbon yang dinilai tidak sebanding dengan luas hutan. Dana Rp70 juta disebut terlalu kecil untuk biaya penjagaan kawasan sebesar itu.
“Tentu saja, untuk penjagaan hutan seluas 29.000 hektare dengan anggaran sekecil itu sama sekali tidak cukup,” tegasnya.
Untuk mencari solusi, DPRD Kutim berencana membuka jalur komunikasi dengan Pemerintah Provinsi Kaltim, khususnya Dinas Kehutanan. “Nanti kita komunikasikan masalah ini ke provinsi, solusinya seperti apa,” tambahnya.
Politisi PKS itu juga menegaskan bahwa Wehea bukan hanya hutan lindung, tetapi identitas Kutim yang harus dijaga. Ia mengingatkan, kawasan ini pernah mengharumkan nama daerah ketika meraih juara III Schooner Prize Award di Vancouver, Kanada, pada 2008 berkat komitmen masyarakat adat menjaga kelestariannya.
“Ini sebuah kebanggaan. Pemerintah harus perhatikan,” ujarnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi XII DPR RI Fraksi PKB, Syafruddin, juga menyoroti lemahnya peran pemerintah daerah dalam pemeliharaan akses jalan menuju Wehea. Ia menilai perangkat desa hingga kecamatan seharusnya aktif memperjuangkan perbaikan jalan melalui mekanisme perencanaan pembangunan.
“Kalau memang itu menjadi kewenangan pemerintah, ya pemerintah harus ambil alih, beri bantuan,” katanya.
Syafruddin pun menyinggung dana karbon yang diterima Kaltim. Menurutnya, sebagian besar alokasi tidak sampai ke hutan sebagaimana tujuan awal.
“Kembali pada komitmen awal bahwa dana karbon itu diperuntukkan untuk menjaga, merawat, dan melestarikan hutan atau lingkungan. Kalau dialokasikan ke sektor lain yang tidak ada kaitannya, tentu jadi persoalan,” imbuhnya.[]
Putri Aulia Maharani