DEPOK — Kasus dugaan mafia tanah kembali mencuat setelah penyanyi Ashanty mengaku menjadi korban sengketa lahan di kawasan Cinangka, Bojongsari, Depok, Jawa Barat. Tanah warisan orang tuanya yang mencapai ribuan meter persegi ternyata memiliki sertifikat ganda, bahkan sebagian sudah beralih fungsi menjadi proyek perumahan.
Pada Kamis (18/09/2025), Ashanty mendatangi langsung lokasi lahan tersebut dengan membawa dokumen kepemilikan. Harapannya, ia bisa memastikan keberadaan tanah yang sejak lama tercatat sebagai aset keluarga. Namun, rasa kaget tak bisa ia sembunyikan ketika mendapati lahan itu bukan lagi tanah kosong, melainkan sudah berubah menjadi kawasan pembangunan dengan papan proyek pengembang yang terpampang jelas.
Masalah menjadi semakin pelik setelah diketahui ada dua sertifikat berbeda atas lahan yang sama. Salah satunya dimiliki oleh keluarga Ashanty, sementara sertifikat lain diduga telah digunakan pihak lain untuk menjual tanah kepada pengembang. Situasi ini memperlihatkan bagaimana praktik mafia tanah masih marak terjadi meski pemerintah berulang kali berjanji menindak tegas.
Ashanty mengaku sudah mencoba mencari jalan damai melalui mediasi, namun upaya itu belum membuahkan hasil. “Kita punya surat-surat yang sama, ya ayo cari solusi,” ujar Ashanty kepada wartawan. Ia menegaskan bahwa keluarganya memiliki dokumen resmi dan sah menurut hukum.
Meski begitu, pembangunan perumahan di atas lahan tersebut tetap berjalan. Kondisi ini membuat Ashanty kecewa karena tanah warisan yang seharusnya mendapat perlindungan hukum justru dikuasai pihak lain. Ia menilai praktik seperti ini mencoreng keadilan dan merugikan masyarakat yang ingin mempertahankan hak warisnya.
Ashanty menegaskan tidak akan tinggal diam. Ia berencana melaporkan kasus ini ke kepolisian agar dapat ditindaklanjuti secara hukum. Langkah tersebut dianggap penting, bukan hanya demi memperjuangkan hak keluarga, tetapi juga untuk memberi pelajaran agar mafia tanah tidak terus merajalela.
Kasus yang menimpa Ashanty mencerminkan lemahnya pengawasan serta masih banyaknya celah dalam administrasi pertanahan di Indonesia. Sertifikat ganda yang kerap muncul menjadi bukti bahwa sistem pendataan belum sepenuhnya transparan dan akurat. Jika tidak segera dibenahi, bukan tidak mungkin kasus serupa akan terus menimpa warga, baik masyarakat biasa maupun publik figur. []
Diyan Febriana Citra.