Mbak Ita dan Suami Dituntut 6 dan 8 Tahun Penjara

Mbak Ita dan Suami Dituntut 6 dan 8 Tahun Penjara

SEMARANG– Dunia politik di Jawa Tengah kembali diguncang oleh tuntutan pidana korupsi terhadap dua tokoh publik yang pernah memegang kekuasaan strategis di tingkat kota dan provinsi. Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu akrab disapa Mbak Ita beserta suaminya, Alwin Basri, yang merupakan eks Ketua Komisi D DPRD Jawa Tengah, kini menghadapi ancaman hukuman berat akibat keterlibatan mereka dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (30/07/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Mbak Ita dengan hukuman enam tahun penjara. Sementara Alwin Basri, yang dinilai memiliki peran dominan dalam kasus ini, dituntut delapan tahun penjara. Keduanya juga diwajibkan membayar denda masing-masing sebesar Rp 500 juta, dengan subsider enam bulan kurungan.

Lebih lanjut, jaksa juga menuntut pidana tambahan berupa pencabutan hak politik selama dua tahun bagi pasangan ini setelah masa pidana pokok mereka usai.

“Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” ujar jaksa dalam persidangan.

Kasus ini menyangkut tiga proyek yang disinyalir menjadi ladang korupsi, yakni pengadaan meja dan kursi di Dinas Pendidikan Kota Semarang, proyek pembangunan di 16 kecamatan, serta pemotongan insentif pegawai. Akibat perbuatan itu, negara ditaksir mengalami kerugian hingga Rp 9 miliar.

Pada sidang perdana sebelumnya (21/04/2025), jaksa telah membeberkan dakwaan secara rinci, termasuk dugaan penerimaan uang Rp 2 miliar oleh Alwin Basri dari Ketua Gapensi Kota Semarang, Martono. Dana tersebut, menurut jaksa, diberikan dua kali sebagai bagian dari kesepakatan proyek pengadaan barang dan jasa.

Mbak Ita, yang tampil dalam balutan kebaya putih dan bawahan merah, terlihat emosional sepanjang pembacaan tuntutan. Ia beberapa kali menunduk dan menggelengkan kepala, menunjukkan ketidaksetujuannya atas tuntutan jaksa. Usai persidangan yang berlangsung hingga pukul 18.15 WIB itu, baik Mbak Ita maupun Alwin memilih bungkam dan tidak memberikan pernyataan kepada wartawan.

Kisah hukum ini memberi pukulan telak terhadap upaya pemulihan kepercayaan publik terhadap integritas pejabat daerah. Keikutsertaan pasangan suami istri dalam pusaran korupsi menggambarkan lemahnya etika politik dan pengawasan terhadap potensi konflik kepentingan dalam struktur kekuasaan lokal.

Kasus ini pun menambah panjang daftar kepala daerah yang tersandung korupsi, sekaligus menjadi peringatan bagi pejabat publik lain bahwa penyalahgunaan wewenang, sekecil apa pun, akan berujung pada konsekuensi hukum yang berat. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews Kasus