MATARAM – Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) resmi meningkatkan penanganan kasus dugaan korupsi dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) yang bersumber dari dana pokok pikiran (pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram tahun anggaran 2023 ke tahap penyidikan.
“Sudah sidik (penyidikan) kasus itu,” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda NTB Kombes Pol Fx. Endriadi di Mataram, Kamis (2/10/2025).
Menurut Endriadi, keputusan menaikkan status kasus ini diambil setelah gelar perkara menemukan sedikitnya dua alat bukti. Meski demikian, ia mengaku belum memperoleh laporan terbaru mengenai progres dari tim penyidik. “(Untuk perkembangan) saya tanyakan dahulu ke penyidiknya,” ujarnya.
Selain Polda NTB, penanganan kasus serupa juga tengah berjalan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, yang menyelidiki dugaan korupsi penyaluran bansos dana pokir tahun 2022. Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Mataram, Mardiono, menyebut kasus tersebut bahkan sudah masuk tahap penyidikan, dengan fokus pada koordinasi bersama lembaga audit guna menelusuri potensi kerugian negara.
Mardiono mengungkapkan modus penyimpangan dalam penyaluran bansos pokir DPRD Mataram dengan nilai mencapai Rp92 miliar yang bersumber dari dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHC-HT). “Modusnya, banyak kelompok fiktif dan yang baru terbentuk. Ada juga kelompok, setelah dapat bantuan, tidak berusaha lagi, ada juga pemotongan (penyaluran),” katanya.
Ia menambahkan, dugaan korupsi itu mengarah pada pelaksanaan kegiatan di Dinas Perdagangan Kota Mataram, yang diduga menyalurkan bantuan tanpa mengacu pada petunjuk teknis dan pelaksanaan. Salah satu indikasi pidana, menurutnya, adalah ketiadaan survei terhadap calon penerima bantuan sebelum penyaluran dilakukan.
Berdasarkan temuan sementara, nominal bansos yang disalurkan bervariasi mulai Rp2,5 juta hingga Rp50 juta. Bahkan, ada kasus bantuan bernilai Rp50 juta yang diberikan kepada perorangan, bukan kelompok. “Ada untuk kelompok, juga perorangan. Yang Rp50 juta justru ada yang terima dari perorangan,” ujar Mardiono.
Kejaksaan menilai pola penyaluran yang tidak transparan ini mengindikasikan adanya pembiaran sekaligus lemahnya pengawasan. Hal itu membuat anggota dewan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan.
“Pemberian bansos terserah anggota dewan, siapa yang mau dikasih. Permohonannya di dewan. Disdag hanya menyalurkan,” ungkapnya.
Saat ini, proses penyidikan oleh kejaksaan dan kepolisian masih berfokus pada penguatan alat bukti, terutama terkait kerugian negara. Kasus ini pun mendapat perhatian luas karena melibatkan dana publik yang semestinya ditujukan untuk kepentingan masyarakat. []
Putri Aulia Maharani