Sidang Bully PPDS Undip Menguak Junior yang Ditugasi Jurnal Senior

Sidang Bully PPDS Undip Menguak Junior yang Ditugasi Jurnal Senior

SEMARANG – Sidang lanjutan kasus dugaan perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) kembali mengungkap berbagai praktik kesewenang-wenangan yang dialami mahasiswa baru. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang pada Rabu (18/6), terungkap adanya kewajiban tak resmi berupa pungutan hingga puluhan juta rupiah per bulan yang dibebankan kepada para residen junior.

Salah satu saksi, dr. Herdaru, yang merupakan rekan seangkatan almarhumah dr. Aulia Risma, menyampaikan bahwa setiap residen junior diminta menyetor dana bulanan senilai Rp20 juta. Dana tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan nonakademik senior, seperti menyewa mahasiswa sarjana (S1) sebagai helper dan membayar pihak ketiga yang disebut sebagai ‘mafia jurnal’.

“Kesepakatannya Rp20 juta per orang tiap bulan. Kami ada 11 orang, jadi sekitar Rp200 juta per bulan. Salah satunya untuk bayar helper dan mafia,” ungkap Herdaru dalam sidang.

Para helper bertugas menyelesaikan tugas-tugas senior, termasuk menyusun jurnal ilmiah, mencuci peralatan medis, hingga menyiapkan kendaraan operasional lengkap dengan bahan bakar dan makanan ringan. Menurut Herdaru, sebagian besar dari helper tersebut merupakan mahasiswa tingkat sarjana yang direkrut langsung oleh angkatan junior.

“Pihak ketiga itu kami istilah ‘mafia’, itu orang yang kami rekrut dan gaji untuk mengerjakan tugas dari senior. Kebanyakan yang masih S1,” katanya.

Tidak hanya tugas akademik, beban yang ditanggung junior juga mencakup kewajiban logistik seperti mengantar makanan, mencuci pakaian, hingga menyiapkan kendaraan dan camilan untuk para senior dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP). Bahkan ketika mengambil cuti karena alasan kesehatan, para residen tetap diwajibkan membayar iuran bulanan.

“Tetap ditarik. Kalau saya enggak bantu teman saya kasihan. Masih ditarik Rp20 juta,” tutur Herdaru.

Ia juga memaparkan adanya struktur organisasi internal tidak resmi di dalam angkatan mahasiswa PPDS yang berfungsi untuk mengatur distribusi tugas domestik. Struktur ini mencakup jabatan seperti ketua, bendahara, hingga seksi keilmuan dan perlengkapan medis.

Herdaru mengaku bahwa almarhumah Aulia sempat beberapa kali mengeluhkan beratnya beban nonakademik dan tekanan mental yang diterima selama menjalani pendidikan. Meskipun sempat cuti akibat cedera saraf, tidak ada perubahan perlakuan saat Aulia kembali aktif.

“Jadi awal masuk sampai sempat cuti, saya rasa enggak ada perbedaan perlakuan. Tugasnya enggak jauh berbeda, masih ngasih makan, ngangkat kasur,” jelasnya.

Perubahan sistem mulai terjadi setelah adanya instruksi dari Kementerian Kesehatan yang menanggapi kematian Aulia dan polemik “pasal anestesi” yang viral di media sosial. Sejak saat itu, program studi mulai merekrut helper resmi dan beban kerja residen semester awal mulai dikurangi.

“Saat saya masuk lagi setelah cuti kedua, itu sudah ada perubahan. Ada peristiwa instruksi menteri kalau enggak salah,” katanya.

Sebagai informasi, sidang kasus PPDS Undip ini telah berlangsung sejak Senin (26/5/2025). Dalam kasus ini, dua pejabat kampus, Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani, didakwa melakukan pemungutan dana operasional pendidikan (BOP) hingga Rp80 juta per mahasiswa. Keduanya dijerat Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.

Selain itu, terdakwa lainnya, Zara, yang merupakan senior sekaligus pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya. Ia didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.[]

Putri Aulia Maharani

Berita Daerah