LUMAJANG – Bencana alam tak hanya merusak infrastruktur dan mengancam keselamatan, tetapi juga mempersulit akses terhadap pendidikan. Hal itu dirasakan langsung oleh warga Dusun Sumberlangsep, Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, yang terisolasi selama empat hari akibat banjir lahar hujan Gunung Semeru.
Pada Jumat pagi (01/08/2025), sejumlah siswa yang berasal dari wilayah tersebut berupaya menembus keterisolasian demi kembali ke sekolah setelah empat hari terakhir hanya bisa belajar dari rumah. Salah satu siswi SDN 3 Jugosari nyaris menjadi korban saat ia terjatuh bersama sang ayah yang tengah menggendongnya menyeberangi Sungai Regoyo.
Dengan mengenakan seragam pramuka dan sepatu lengkap, para siswa perlahan menuruni tanggul untuk mencapai aliran sungai. Meski debit banjir lahar sudah mulai surut, arus masih terlalu deras dan berbahaya untuk dilalui anak-anak sendiri. Maka dari itu, sebagian besar dari mereka harus digendong orang tua agar bisa menyeberang.
Namun, salah satu ayah yang mengenakan sepatu boots tergelincir akibat batu licin di sungai. “Orangnya pakai sepatu boots kan berat, arusnya juga masih deras, terus kegelincir batu jatuh, anaknya pulang lagi ke rumah enggak sekolah,” kata Surip, seorang warga yang turut membantu evakuasi di lokasi kejadian.
Insiden tersebut mengakibatkan sang anak urung berangkat ke sekolah karena seragam dan sepatu yang dikenakannya basah kuyup. Ia pun berjalan kembali ke rumah dengan langkah berat, sementara teman-teman lainnya melanjutkan perjalanan menantang risiko yang sama.
Fatmawati, salah satu siswa yang berhasil menyeberang, mengungkapkan rasa rindunya pada suasana sekolah. “Kangen sama teman-teman, empat hari enggak sekolah, belajar di rumah dikasih tugas daring,” ujar Fatmawati.
Bagi warga Sumberlangsep, kondisi ini bukan hal baru. Setiap musim hujan, terutama saat lahar hujan Semeru meluap, mereka kerap terisolasi. Ironisnya, hingga saat ini belum ada jembatan permanen atau akses alternatif yang disediakan pemerintah untuk menjamin keselamatan dan kelangsungan pendidikan anak-anak di wilayah tersebut.
Sementara itu, distribusi bantuan sembako ke dusun ini pun harus dilakukan dengan bantuan alat berat karena terputusnya akses darat. Relawan dan warga berharap pemerintah segera mengambil tindakan konkret, agar akses pendidikan dan kebutuhan dasar warga tidak selalu terhambat saat bencana datang.
Perjuangan anak-anak seperti Fatmawati seharusnya menjadi cermin bahwa pendidikan di daerah bencana membutuhkan perhatian lebih dari negara. Keselamatan anak-anak menuju sekolah seharusnya bukan menjadi taruhan, tetapi tanggung jawab kolektif untuk diatasi secara tuntas. []
Diyan Febriana Citra.