PARLEMENTARIA – Warga Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, kembali menegaskan sikap mereka terhadap pemerintah dengan aksi memutus jalan menuju Bendungan Marangkayu, Rabu 27 Agustus 2025. Langkah ini ditempuh sebagai bentuk protes atas mangkraknya pembayaran ganti rugi lahan selama 17 tahun sejak pembangunan dimulai pada 2007.
Sebanyak 63 warga dengan total 174 bidang lahan hingga kini belum mendapatkan hak mereka. Ironisnya, sebagian sawah masyarakat telah tenggelam akibat penggenangan bendungan, namun kompensasi tak kunjung diberikan.
Aksi ini mendapat dukungan penuh dari Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Baharuddin Demmu. Ia menilai, sikap warga sudah sewajarnya dilakukan karena pemerintah lalai memenuhi kewajibannya.
“Itu bagus, karena jalanan yang dibongkar rakyat itu adalah haknya masyarakat, itulah kesalahan pemerintah tidak mengantisipasi bahwa tanah-tanah rakyat itu jangan tidak dibayar, seharusnya jauh hari sudah membayar,” tegas Baharuddin di Samarinda, Selasa (02/09/2025).
Baharuddin menilai aksi tersebut sebagai sinyal kuat agar pemerintah pusat segera turun tangan. Bahkan, ia mendorong warga untuk membuat surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Kami mendukung untuk membuat surat terbuka, karena mereka tidak percaya lagi dengan bawahan-bawahan Presiden dan tidak ada yang mau merespo, jadi kalau warga bikin surat terbuka mudah-mudahan respon Presiden cepat,” ujarnya.
Permasalahan kian pelik setelah PTPN XIII mengklaim kepemilikan atas 100 hektare lahan dengan Hak Guna Usaha (HGU) pada 2018. Klaim itu membuat proses pembayaran yang awalnya lancar tersendat, bahkan buntu meski sudah melalui jalur hukum.
“Kemarin 2018 itu kalau ini terbayar, mestinya tidak terjadi, tapi pada saat ingin dibayar tiba-tiba ada klem dari PTPN XIII, sehingga itulah yang membuat rakyat tidak bisa menerima haknya yang hari ini,” jelasnya.
Warga berharap aksi ini menjadi pintu masuk perhatian pemerintah pusat. Bagi mereka, 17 tahun penantian sudah terlalu lama, dan hak atas tanah tak bisa terus ditunda. []
Penulis: Muhammaddong | Penyunting: Agnes Wiguna