Merayakan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada hari ini (16/10), mungkin bisa menjadi momen tepat kamu mengubah pola makan sehat dan lebih berkelanjutan. Tak perlu khawatir, kamu bisa mengikuti panduan berikut ini. Sebagaimana dilansir dari Kumparan.com, Sejumlah institusi, termasuk Food and Agriculture (FAO) dan Kementerian Kesehatan, memang menerbitkan panduan makan sehat yang sifatnya general. Namun, tak hanya itu, mungkin kamu juga bisa mengkombinasikan panduan makan sehat ala Eathink yang dinamai “SELARAS”, yakni Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, dan Sadar.
Perusahaan platform dari foodsustainesia untuk generasi milenial ini mencoba melengkapi panduan makan yang cocok untuk masyarakat lokal.
Mengutip siaran resminya (16/10), Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink mengatakan, “Ada celah yang kami temukan pada rekomendasi tersebut. Misalnya, panduan Isi Piringku dari Kemenkes hanya membahas aspek kesehatan. Padahal, rekomendasi diet perlu mencakup berbagai aspek, termasuk keberlanjutan. SELARAS melengkapi rekomendasi diet dari Kemenkes dengan mempertimbangkan lingkungan. Sedangkan rekomendasi diet dari luar negeri sifatnya global. Kami mencoba membuat dalam konteks lokal sehingga lebih relevan dengan masyarakat Indonesia.”
Sementara itu, dosen Sport Nutrition di Fakultas Bioteknologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya turut menambahkan, “Tidak hanya mendorong kita mengonsumsi makanan sehat, tetapi juga memastikan prinsip keberlanjutan pangan. Bukan hanya memikirkan sehat untuk sekarang, tetapi juga sehat di masa depan. Dengan memikirkan aspek lingkungan, makanan sehat itu akan terus tersedia bagi generasi selanjutnya.”
Nah, lantas apa saja, sih tips dari panduan tersebut? Simak selengkapnya di bawah ini!
1. Seimbang: tidak harus gizi lengkap dalam satu kali
Dalam satu piring, setengahnya diisi sayur dan buah, sementara setengahnya lagi diisi sumber protein, karbohidrat, dan lemak. Hanya saja, dalam SELARAS, aspek ‘Seimbang’ dibuat lebih fleksibel.
“Sering kali orang ragu untuk menerapkan makan sehat, karena mereka berpikir kandungan gizi di setiap makan harus langsung lengkap. Tidak harus begitu, kok. Kita jangan lihat dari satu piring atau satu kali makan saja. Yang penting, kebutuhan gizi kita dalam satu hari terpenuhi dan kita bisa konsisten menerapkannya dalam jangka panjang,” kata Jaqualine.
Dengan prinsip tersebut, ia berpandangan, sesekali menikmati junk food atau makanan kategori Ultra Processed Food (UPF), tidak masalah. Tapi, kuncinya adalah sesekali. Dengan prinsip ‘Seimbang’ ini, kita bisa mengonsumsi makanan apa pun yang diinginkan, tanpa harus pantang makanan tertentu.
Sementara itu, Dion menyarankan, “Orang yang lebih banyak bekerja di kantor lebih baik mengonsumsi banyak buah dan sayur, bukan karbohidrat. Karena, kebutuhan karbohidratnya tidak banyak. Kebutuhan gizi seperti ini menjadi seimbang bagi dia. Sementara itu, seimbang bagi orang yang banyak beraktivitas berat, akan berbeda lagi. Seimbang pada orang tersebut berarti banyak mengonsumsi karbohidrat.”
2. Lokal: murah dan mudah didapat
Dion menegaskan soal pentingnya memahami konsumsi produk lokal. “Banyak orang tidak berpikir sampai ke arah sana, bahwa memilih pangan lokal bisa membuat pangan tersebut sustain dalam jangka panjang, bahwa memilih produk impor bisa memperparah dampak pemanasan global dan menciptakan jejak karbon. Jangan sampai kitanya sehat, tapi alamnya tidak sehat,” kata Dion, yang senang menyantap pisang ambon.
Melanjutkan pendapat Dion, Jaqualine, bahan makanan di negara tropis, seperti Indonesia, jauh lebih bernutrisi dibandingkan di negara bukan tropis. Namun, karena kita sering membaca rekomendasi diet dari negara barat, maka referensi kita jadi mengarah pada bahan makanan impor, seperti kiwi dan salmon.
3. Alami: tak meracuni diri dalam jangka panjang
Dion mencontohkan sosis, yang disebutnya tidak alami lagi, karena mengandung banyak bahan tambahan pangan dan terbilang tinggi garam. Komponen dagingnya justru sedikit. “Mudahnya, prinsip ‘Alami’ ini lebih mengarah pada real food. Misalnya, mengonsumsi ayam yang kita olah sendiri, sehingga bentuk aslinya pun masih terlihat. Kalaupun ingin dijadikan berbagai olahan, kita bisa membuatnya sendiri tanpa menambahkan bahan pangan sintetis.”
Jaqualine menambahkan, jika bahan pangan tambahan tersebut dalam pengawasan BPOM, sebenarnya masih aman. Tapi, jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dampaknya akan kurang baik bagi kesehatan kita.
4. Beragam: tak terpaku pada nasi
Tahukah kamu, di Indonesia terdapat 77 sumber karbohidrat dan 389 buah lokal? Itu artinya, kita memiliki sumber bahan pangan yang bukan hanya nasi saja, lho.
Menurut Jaqualine, kita bisa menciptakan demand atas satu komoditas yang jarang dikonsumsi. Jika biasanya menyantap nasi, kita bisa mengganti dengan ubi dua atau tiga kali seminggu, dan dilakukan secara konsisten.
Dari sudut pandang nutrisi, Dion menyebutkan, tidak ada satu sumber makanan pun yang gizinya lengkap. Karena itu, keragaman pangan menjadi penting. Jadi, dari berbagai jenis bahan pangan, kita bisa mendapatkan gizi yang maksimal.
5. Sadar: kunci untuk makan sehat
“Sadar merupakan awal yang baik, yang kemudian menjadi kunci untuk makan sehat yang selaras dengan alam. Kita perlu menyadari dahulu kebutuhan kita, menyadari kenapa harus makan dengan prinsip ‘Seimbang’, menyadari dampak dari pilihan makanan kita terhadap alam dan kesehatan diri sendiri,” ujar Jaqualine.
Dia melanjutkan, kalau kita sudah terbiasa mindful eating, yaitu makan dengan sadar, lama-kelamaan kita akan merasakan dampaknya terhadap tubuh kita.[]
Putri Aulia Maharani