MAGELANG — Suasana khusyuk menyelimuti bantaran Sungai Progo, kawasan Brojonalan, Borobudur, Kabupaten Magelang, saat ratusan umat Buddha dan peserta lainnya mengikuti ritual larung pelita pada Rabu (11/06/2025) malam. Prosesi ini menjadi bagian dari uji coba Wisata Spiritual Borobudur (WSB), sebuah konsep baru yang mengangkat nilai-nilai spiritual dan budaya dalam praktik ziarah ke Candi Borobudur.
Larung pelita dimulai sekitar pukul 18.58 WIB, diawali dengan doa bersama yang dipimpin Bhante Ditthisampanno Mahathera, salah satu tokoh dan konseptor peziarahan candi-candi Buddha di Indonesia. Pelita yang digunakan diletakkan dalam tempurung kelapa, lalu dilarung ke aliran Sungai Progo sebagai simbol pelepasan diri dari hal-hal buruk.
“Kegiatan ini merupakan satu rangkaian awal dari pelaksanaan praktik perziarahan atau pilgrim di Candi Borobudur. Awal ini dengan melakukan penyucian diri dan tadi ada pelarungan sukerto,” ujar Bhante Ditthisampanno kepada wartawan usai prosesi.
Menurutnya, ritual ini merujuk pada tradisi masa lalu, di mana peziarah melakukan puja di Candi Mendut, dilanjutkan penyucian diri di Candi Pawon, sebelum akhirnya menuju Borobudur. Pelarungan sukerto yang bermakna melepaskan segala keburukan atau energi negatif menjadi tahap penting sebelum melakukan puja di candi utama.
“Kalau pada zaman dulu dikatakan bahwa sebelum ke Borobudur melakukan puja di Candi Mendut. Kemudian dari Candi Mendut melakukan penyucian diri di Candi Pawon diikuti dengan pelarungan. Kalau zaman dulu segala pakaian dan sebagainya sukerto (dilarung) di Sungai Progo,” jelasnya.
Esensi dari ritual ini tak hanya bersifat simbolik, tetapi juga spiritual. Bhante menjelaskan bahwa larung pelita menggambarkan pelepasan kebencian, kebodohan, dan keserakahan yang menghalangi kemurnian batin.
“Jadi ini rangkaian acara untuk praktik pelarungan sukerto. Dan juga sebagai praktik untuk melepaskan segala bentuk ketidakbaikan dalam hati, dari kebodohan dan ketidaktahuan,” tambahnya.
Menariknya, larung pelita juga memiliki makna sebagai puja siripada, yakni bentuk penghormatan terhadap telapak kaki Sang Buddha. Tradisi ini dikenal pula di India dan Sri Lanka, di mana telapak kaki Buddha dijadikan simbol suci.
“Kalau di India dan Srilangka untuk menunjukkan adanya Sang Buddha waktu itu diwujudkan dengan telapak kaki beliau. Jadi beliau (telapak kaki) ngecap di batu, kemudian batu ditenggelamkan. Itu sebagai wujud simbolisasi Buddha yang dipuja oleh para dewa dan naga,” ungkap Bhante.
Ketua DPD Walubi Jawa Tengah, Tanto Soegito Harsono, menyebut kegiatan ini sebagai bagian dari percobaan untuk menghadirkan paket-paket wisata spiritual di kawasan Borobudur. Ia berharap, konsep ini dapat memperkuat daya tarik spiritual Candi Borobudur bagi wisatawan lokal maupun mancanegara.
“Nantinya akan ada beberapa paket, nah ini baru kita coba malam ini dengan larung pelita. Besok pagi naik candi,” ujarnya, Rabu (11/06/2025) malam.
“Ini diikuti dari semua majelis, semua yang ada di Indonesia,” tambahnya.
Dengan prosesi ini, Borobudur tidak hanya kembali dihidupkan sebagai objek wisata sejarah, tetapi juga sebagai pusat spiritual lintas generasi yang menghimpun nilai-nilai luhur keagamaan dan budaya. []
Diyan Febriana Citra.