Mangrove Jadi Solusi Krisis Pesisir Sumbawa

Mangrove Jadi Solusi Krisis Pesisir Sumbawa

SUMBAWA – Kerusakan kawasan pesisir di utara Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), kian mengkhawatirkan. Terjangan abrasi, perubahan iklim ekstrem, serta ketidakteraturan cuaca memperparah kondisi ekosistem di wilayah ini. Merespons kondisi tersebut, masyarakat Desa Bale Berang, Kecamatan Utan, mengambil peran aktif dalam menyelamatkan lingkungan pesisir dengan mengikuti program restorasi dan rehabilitasi hutan mangrove.

Program ini diinisiasi oleh Lembaga Olah Hidup (LOH), sebuah organisasi lingkungan yang menggandeng berbagai pihak, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), serta dukungan dari inisiatif Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.

Sedikitnya 50 warga Desa Bale Berang dilibatkan langsung dalam pelatihan pembibitan dan penanaman mangrove. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program yang menyasar 10 desa pesisir utara Kabupaten Sumbawa, yang selama ini terdampak langsung oleh degradasi lingkungan.

“Kami melihat banyak spot pesisir yang rusak dan terdegradasi di Sumbawa. Sementara kita memahami ini akan berdampak langsung bagi kehidupan,” ujar Direktur LOH, Yani Sagaroa, Senin (16/06/2025).

Yani menambahkan, keberadaan hutan mangrove memiliki nilai strategis sebagai pelindung alami dari ancaman abrasi, serta menjadi habitat penting bagi biota laut. Dalam konteks perubahan iklim yang makin nyata, mangrove dianggap sebagai salah satu solusi berbasis alam yang efektif.

“Kita lihat bencana banjir, krisis air bersih, cuaca tak menentu, suhu panas yang ekstrem akibat pemanasan global. Ini perlu segera ditanggulangi,” tambahnya.

Selain aspek ekologis, kegiatan ini juga berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Dukungan dari Pemerintah Desa Bale Berang pun memperkuat sinergi antara warga, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah (NGO).

Ketua Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Puncak Ngengas, Sirajuddin, menyoroti keterkaitan antara kualitas air tawar dan keberadaan hutan mangrove. Menurutnya, mangrove memainkan peran penting dalam menurunkan kadar garam dalam air tanah di kawasan pesisir.

“Mangrove membantu mengurangi kadar garam pada air yang dikonsumsi masyarakat pesisir. Kerja NGO seperti yang dilakukan Pak Yani ini pastinya sangat membantu masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan lingkungan,” ujarnya saat membuka pelatihan.

“Selain itu, ini juga membantu mengisi pos-pos yang belum tersentuh oleh pemerintah,” sambung Sirajuddin.

Dari sudut pandang mitigasi bencana, peran mangrove juga mendapat sorotan dari Muttakin, Ketua Forum Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDAT) Sumbawa. Ia menyatakan bahwa dampak perubahan iklim sudah terasa dalam bentuk ketidakteraturan siklus air.

“Ketika air menguap ke atas, terkondensasi, lalu turun hujan di gunung dan mengalir ke hilir. Sering kali siklus ini terganggu karena daerah resapan di gunung tidak lagi baik. Jadilah banjir,” jelas Muttakin.

Langkah kolaboratif antara masyarakat, NGO, dan pemerintah ini diharapkan menjadi model percontohan dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berbasis masyarakat. Terlebih, wilayah pesisir Indonesia secara umum kini berada dalam kondisi rawan dan memerlukan intervensi serius yang berkelanjutan. []

Diyan Febriana Citra.

Berita Daerah Hotnews