Anggaran Turun, DPRD Kaltim Ubah Skema Pendidikan Gratis

Anggaran Turun, DPRD Kaltim Ubah Skema Pendidikan Gratis

PARLEMENTARIA – Komitmen Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) dalam meningkatkan akses pendidikan tinggi kembali menjadi perhatian publik, terutama terkait gagasan Pendidikan Gratis Total atau GratisPol yang pernah dijanjikan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud dan Seno Aji. Wacana tersebut kini mulai diwujudkan melalui pendekatan bertahap yang disesuaikan dengan kondisi riil daerah.

Program GratisPol, yang semula dipahami sebagai bentuk pembebasan biaya pendidikan tinggi secara menyeluruh, kini mengalami penyesuaian baik dari sisi nomenklatur maupun implementasi teknis. Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim, Sarkowi V Zahry, menjelaskan bahwa proses pelaksanaan program harus mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk legalitas dan kemampuan fiskal daerah.

“Kalau ada yang berpendapat bahwa GratisPol itu tidak full, ya bisa jadi memang benar. Tapi itu bukan berarti programnya batal. GratisPol itu adalah janji kampanye yang kini kita sesuaikan dengan regulasi dan kemampuan keuangan daerah,” ujarnya pada Rabu (09/07/2025).

Ia menegaskan, ide awal dari program ini bertujuan membuka akses seluas-luasnya bagi generasi muda Kaltim untuk menempuh pendidikan tinggi. Namun, kendala struktural dan yuridis tidak bisa diabaikan. Istilah GratisPol, menurutnya, tidak tercantum dalam regulasi nasional karena pendidikan tinggi merupakan kewenangan pemerintah pusat.

“Istilah GratisPol itu tidak dikenal dalam regulasi formal. Pendidikan tinggi adalah wewenang pemerintah pusat. Kalimantan Timur bukan daerah dengan otonomi khusus seperti Papua, yang punya dasar hukum khusus untuk program seperti ini,” katanya.

Sebagai respons, Pemprov Kaltim menetapkan Peraturan Gubernur tentang Bantuan Pendidikan Tinggi sebagai skema baru. Dengan pendekatan ini, mahasiswa tetap memperoleh bantuan biaya, meski tidak seluruhnya ditanggung.

“Jadi dari GratisPol menjadi Pergub Bantuan Pendidikan. Ini kompromi antara janji politik dan aturan hukum. Tentu saja, bantuan ini tetap penting untuk meringankan beban mahasiswa, meski tidak seratus persen gratis,” jelas politisi Partai Golkar itu.

Bantuan yang diberikan berkisar antara Rp5 juta hingga Rp7 juta per mahasiswa, tergantung jenis program studi dan kebutuhan masing-masing. Untuk bidang studi dengan biaya tinggi seperti kedokteran, Sarkowi menegaskan tidak mungkin seluruh kebutuhan dibiayai.

“Pendidikan dokter itu mahal. Kalau mau benar-benar gratis semua, uang kita nggak akan cukup. Di situlah mengapa kita pakai batas atas. Kalau tidak, berapa orang yang bisa dibiayai? Pasti tidak akan merata,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan tantangan yang dihadapi daerah, termasuk penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari Rp22 triliun menjadi Rp20 triliun, dan diproyeksikan menjadi Rp18 triliun pada tahun 2026.

“Kita ini menghadapi banyak tantangan. Jalan-jalan rusak, sekolah masih banyak yang belum layak, rumah sakit masih kekurangan dokter. Kalau semua uang dihabiskan untuk pendidikan tinggi, yang sebetulnya bukan kewenangan provinsi, lalu yang lain mau dikasih apa?” ujar Sarkowi.

Meski awalnya direncanakan berjalan penuh mulai 2026, program ini dipercepat pelaksanaannya menjadi 2025 menyusul arahan Presiden dan situasi politik nasional.

“Justru kita lebih cepat dari jadwal. Tapi memang tidak bisa maksimal. Kita lakukan dulu yang bisa, nanti kita evaluasi sambil berjalan,” ujarnya lagi.

Ia menyebut, DPRD Kaltim tengah membahas kemungkinan memasukkan program ini ke dalam Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyelenggaraan Pendidikan untuk memperkuat payung hukum bantuan tersebut.

“Kalau nanti substansinya disetujui Pemprov Kaltim, program bantuan pendidikan tinggi ini bisa diatur dalam Perda. Tapi tentu kita lihat dulu hasil pembahasan pansus dan tanggapan eksekutif,” katanya.

Dalam pandangan Sarkowi, fokus utama provinsi tetap pada jenjang pendidikan menengah seperti SMA dan SMK. Karena itu, pemberian bantuan untuk pendidikan tinggi lebih diposisikan sebagai bentuk kepedulian, bukan kewajiban.

“Indikator kinerja utama kita di provinsi itu ada di SMA dan SMK. Kalau ada bantuan ke pendidikan tinggi, itu sebenarnya bentuk keberpihakan, bukan kewajiban. Kita bantu sebisanya, semampunya,” pungkasnya. []

Penulis: Muhamaddong | Penyunting: Agnes Wiguna

Advertorial DPRD Kaltim